Page 233 - hujan
P. 233
ru mah sakit kota. Namun, mereka tidak bisa langsung masuk kerja karena
mendapatkan penugasan Organisasi Relawan.
Pagi itu, tiga minggu sebelum kapal rakasa itu diluncurkan, Lail dan Maryam
bersama puluhan relawan menaiki gerbong kereta cepat, menuju Sektor 3.
Kereta melintasi hamparan sawah yang kering, padang rumput yang kerontang.
Pohon-pohon meranggas. Suhu udara telah naik lima derajat Celsius.
Kekeringan mulai melanda di mana-mana.
Kondisi Sektor 3 yang mereka tuju mengenaskan. Air bersih sangat terbatas.
Relawan dan marinir sudah berusaha menarik air dari kedalaman ratusan meter,
tapi hanya sedikit sekali air yang keluar. Tanpa siklus hujan, cadangan air bawah
tanah mulai berkurang. Bahan pangan kembali terbatas, dan harganya melesat
tidak terkendali.
Lail dan Maryam bertugas di rumah sakit darurat lokasi peng ungsian. Mereka
tidak lagi membantu perawat, merekalah pe rawat nya—sekaligus relawan.
Mereka memperhatikan anak-anak kecil yang kurus, orang tua yang sakit. Tenda
rumah sakit darurat terasa pengap. Seragam mereka basah oleh keringat.
”Cepat atau lambat, kota kita juga akan mengalami kondisi yang sama.”
Maryam memperbaiki masker di mulut. Mereka jeda sejenak, berdiri di luar
tenda, menatap sekitar.
Debu beterbangan. Angin yang menerpa tanah kering mem buat debu itu
mengepul, kualitas lingkungan jadi bertambah buruk. Debu-debu ini membuat
jagung, gandum, dan padi tidak bisa tumbuh maksimal. Hewan ternak tewas.
” Lail, apakah Soke Bahtera termasuk salah satu penumpang kapal itu?”
Maryam bertanya—pertanyaan yang sering dia sampai kan seminggu ini.
Lail menggeleng. ”Aku tidak tahu. Esok tidak bilang.”
Itu sebenarnya juga menjadi pertanyaan Lail. Apakah Esok termasuk
penumpang kapal raksasa itu? Mungkin saja Esok tidak terpilih karena
penumpang dipilih secara acak. Ada puluh an juta penduduk seluruh negeri,
kemungkinan terpilih hanya satu banding lima ribu, nol koma nol sekian persen.
Kecil sekali.