Page 230 - hujan
P. 230
29
MALAM menyelimuti kota. Lampu-lampu dinyalakan. Sepeda merah itu
tiba di gerbang asrama sekolah keperawatan.
”Bye, Lail!”
”Bye, Esok!” Lail mengangguk.
Esok menaiki sepedanya, mengayuhnya perlahan. Lail me natap punggung
Esok yang menghilang di ujung tikungan. Gadis itu menghela napas panjang. Ini
seharusnya menjadi hari yang indah, Lail menghabiskan waktu bersama Esok.
Tapi memikirkan apa yang diceritakan Esok, itu menghabisi separuh ke senangan
hari.
Maryam berseru nyaring saat Lail mendorong pintu kamar. Lail melangkah
masuk.
” Lail! Kamu ke mana saja, hah? Aku mencarimu di seluruh aula, kamu tidak
ditemukan. Menghilang begitu saja.”
Lail menggeleng, belum menanggapi kekesalan Maryam.
” Kamu pasti bertemu Soke Bahtera, iya kan? Ayo mengaku.”
Lail mengangguk.
” Masuk akal kalau begitu. Hanya Soke Bahtera yang bisa membuatmu
melupakan teman sekamarmu ini. Pergi tanpa bilang. Membiarkan aku panik.
Ini untuk ketiga kalinya, Lail! Tiga kali!”
Maryam melotot, rambut kribonya mengembang besar.
”Apa yang kalian lakukan? Main sepeda berkeliling kota seperti anak kecil?”
”Aku mau mandi.” Lail mengambil handuk.