Page 231 - hujan
P. 231

”Sebentar, Lail. Kamu harus cerita.”

                  ” Nanti  aku  ceritakan,  aku  mau  mandi  sekarang.”  Lail  sudah  melangkah  ke  luar

                kamar. Dia masih mengenakan toga sejak tadi.
                                                            ***

                Selesai mandi, Maryam sudah menunggunya.

                  ”Ada  hal  penting  yang  hendak  kusampaikan  kepadamu,  Maryam.”  Lail  duduk
                di ranjang. Wajahnya serius.

                  ” Hal   penting   apa?   Esok    akhirnya    melamarmu?”      Maryam      cengar-cengir,

                berusaha     bergurau.   Dia    duduk    di   ranjangnya.   Mereka     berdua   berhadap-
                hadapan.

                  ”Sekarang bukan saatnya bergurau.” Lail menggeleng tegas.

                  ” Eh, baiklah. Maaf.” Maryam memperbaiki posisi duduknya.
                  ” Tapi kamu harus berjanji tidak akan bilang pada siapa pun.”

                  ” Ya   ampun,   Lail!   Aku   harus   berjanji?”   Maryam   berseru   tidak   terima.   ”Aku

                tidak  pernah  membocorkan  rahasiamu  walau  se tetes.  Tidak  sekali  pun  kepada
                penghuni    panti   sosial,   asrama   sekolah,   Organisasi   Relawan,   tidak   ke   seluruh

                penduduk kota ini. Bahkan mengigau saat mimpi pun tidak.”

                  ” Iya,   aku   tahu   itu.”   Lail   menatap   Maryam   yang   tersinggung.   ”Aku   hanya
                memastikan. Berjanjilah, Maryam.”

                  ” Baik. Aku berjanji. Kamu puas?”

                  Lail mengangguk. Esok benar, rahasia ini bisa diberitahukan kepada Maryam.

                  Setengah  jam  Lail  menceritakan  semua  percakapannya  dengan  Esok  di  depan
                lubang    tangga   darurat   kereta   bawah   tanah.   Cerita   yang   membuat    Maryam

                mematung.
                  Kamar     itu   lengang,   menyisakan   suara   pendingin    ruangan—tidak      ada   lagi

                pemanas ruangan.

                  ” Itu sangat menakutkan.” Maryam akhirnya bersuara, suaranya tersekat.

                  Lail   mengangguk.    Mereka    sudah    pernah   melewati   gunung    meletus   skala   8
                VEI,  melewati  gempa  bumi  skala  10  Richter,  yang  menghancurkan  dua  benua

                sekali   tepuk.   Mereka   sudah   me lewati   suhu   dingin,   salju   setebal   lima   puluh
   226   227   228   229   230   231   232   233   234   235   236