Page 239 - hujan
P. 239
Jsik mirip denganku, kribo, tinggi, kurus. Mungkin saja dia ibuku.”
” Lantas kenapa Lail juga harus ikut pulang ke kota?” Ko mandan menatap
Maryam tajam.
” Eh, juga ditemukan ibu-ibu dengan kondisi Jsik seperti Lail.” Maryam
menyeringai.
Bahkan anak kecil pun tahu Maryam hanya mencari-cari alasan. Komandan
lokasi pengungsian tertawa mendengarnya. ” Kalian bisa pulang kapan pun, Lail,
Maryam. Ini pekerjaan relawan, bukan penugasan militer. Aku akan
memberikan izin, tidak perlu mengarang alasan.”
Keesokan paginya, mereka menuju stasiun kereta terdekat, menumpang truk
militer yang sedang mengambil logistik. Debu mengepul sepanjang jalan. Bumi
semakin kering. Semua orang di Sektor 3 harus mengenakan masker tebal. Tiba
di kota ter dekat delapan jam kemudian, mereka langsung menuju stasiun,
menumpang kereta.
Kereta cepat melewati hamparan padang rumput yang ter bakar. Asapnya
mengepul di langit. Hanya sebentar, entah apa yang terjadi, asap itu hilang
dengan sendirinya, menguap begitu saja. Hutan-hutan terlihat kerontang,
menyisakan pohonnya yang kelabu. Tanah persawahan retak-retak.
Perkampungan yang kembali ditinggalkan, kota-kota mati, terlihat di sepanjang
jalur kereta.
” Lail, apakah kamu ingin naik kapal itu?” Maryam bertanya.
Kereta cepat masih beberapa jam lagi tiba.
Lail menggeleng. Sejak mengetahui Esok memiliki dua tiket, dia telah
memikirkannya sejak tadi malam. Apakah dia meng inginkan naik kapal itu?
Tidak. Dia hanya menginginkan ber sama Esok. Sesederhana itu. Tapi karena
Esok harus naik kapal itu, teknologi kapal sangat bergantung padanya, maka
satu-satu nya kemungkinan agar dia tetap bersama Esok adalah ikut dengannya
naik kapal.
Lail menatap ke luar jendela.
Kenapa Esok harus datang di wisudanya, di saat dia sudah mu lai menata