Page 242 - hujan
P. 242
untuk melihat salju. Keluarga Ibu tidak kaya, maka mimpi itu tidak pernah
terwujud. Tapi takdir berkata lain, justru salju itu yang datang ke sini.
” Esok sudah bilang dia punya dua tiket, Lail. Satu untuknya, satu lagi berhak
dia gunakan untuk siapa saja yang dia pilih. Esok tidak bilang lewat telepon
semalam akan mengajak siapa. Tapi orang tua seperti Ibu tidak dibutuhkan di
atas kapal itu. Hanya akan menjadi beban, merepotkan. Kalaupun Esok mem-
berikan tiket itu kepada Ibu, Ibu akan menolaknya.”
”Apakah... apakah tiket itu akan diberikan kepada Claudia?”
Ibu Esok terdiam lama kali ini.
” Dia tidak bilang apa pun. Hanya mengabarkan. Dia belum mengambil
keputusan. Wali Kota juga telah bicara kepada Ibu, Lail. Dia sangat berharap
tiket itu diberikan kepada putrinya. Apakah dia juga sudah menemuimu?”
Lail mengangguk.
” Urusan ini sangat rumit.” Ibu Esok mengusap rambutnya yang putih. ” Esok
sepertinya belum menghubungimu soal tiket itu, bukan? Itulah kenapa kamu
datang ke sini. Pulang bergegas dari Sektor 3.”
Lail menunduk. Menyeka pipinya. Kalimat ibu Esok benar, dia satu-satunya
yang belum diberitahu secara langsung. Persis se perti dulu saat Esok wisuda,
seberapa lama Esok membutuh ka n waktu hingga pemuda itu memutuskan
menghubungi Lail? Kali ini, seberapa lama Esok memberitahu Lail keputusan
apa yang akan dia ambil?
Ibu Esok memegang lengan Lail, menatapnya. ” Lail, Esok me nyayangimu. Dia
menganggapmu lebih dari seorang adik. Se mentara Claudia adalah adik
angkatnya. Anak dari keluarga yang sangat membantunya. Semua kesempatan
yang dimiliki Esok datang dari keluarga itu. Esok tidak akan bisa sekolah tinggi
tanpa orangtua angkatnya... Termasuk toko kue ini... toko ini ada lah kebaikan
dari keluarga itu. Ibu tidak tahu ke pada siapa tiket itu akan diberikan, dan Ibu
tidak bisa ikut me mutuskan.
”Orang tua ini, Lail, waktunya tidak banyak lagi... Ibu sudah pernah kehilangan
empat putra, kakak-kakak Esok, saat gempa bumi. Melepaskan mereka pergi