Page 240 - hujan
P. 240
hatinya, belajar melupakan? Kenapa dia harus me nanggung lagi semua harapan-
harapan itu, setelah dia mulai belajar melepaskan? Kebersamaan yang singkat
saat wisuda itu telah meluluh-lantakkan benteng pertahanan Lail. Dia mencintai
Esok, dulu, sekarang, dan hingga kapan pun. Itu kenyataan yang tidak bisa
dibantah lagi.
Lail menyayangi pemuda yang dulu memegang tas pung gungnya. Saat
kehilangan Ibu dan Ayah, Lail menemukan Esok.
”Apakah kamu ingin naik kapal itu, Lail?” Maryam bertanya lagi.
Lail menghela napas panjang, membuat jendela kereta ber embun.
Pertanyaan itu belum ada jawabannya.
Maryam memandang wajah temannya lamat-lamat dengan tatapan prihatin.
Gadis itu bergumam dalam senyap, kenapa jatuh cinta tidak pernah menjadi
sederhana bagi teman baiknya.
***
Lail dan Maryam tiba di stasiun kota pukul satu malam, me numpang taksi
menuju apartemen. Lelah sehabis menempuh perjalanan panjang, mereka
langsung merebahkan diri di atas ranjang, tertidur.
Maryam terbangun saat cahaya matahari melewati jendela apartemen.
Lail sudah bangun, telah berganti baju.
” Kamu mau ke mana, Lail?”
”Aku hendak menemui ibu Esok.”
”Sekarang?”
Lail mengangguk. Tinggal enam hari lagi keberangkatan kapal itu. Dia harus
menemui ibu Esok, hendak bertanya apakah Esok sudah menceritakan situasi
itu kepadanya. Esok pernah bilang, dia diizi nkan menelepon ibunya lebih sering.
” Boleh aku ikut?” Maryam lompat dari tempat tidur.
”Aku justru hendak bertanya, apakah kamu mau menemaniku, Maryam?”
Maryam tertawa kecil. ” Tunggu sebentar. Aku akan ber siap-siap.”
Mereka menumpang bus kota rute 12. Bangkunya terisi separuh, langit-langit
bus terasa pengap. Suhu kota naik lagi satu derajat seminggu terakhir. Pendingin