Page 244 - hujan
P. 244
tidak mau makan.
Satu hari lagi berlalu. Waktu keberangkatan pesawat itu ha nya tinggal
hitungan jam. Tinggal 48 jam.
”Apakah Esok mencintaiku, Maryam?” Lail bertanya pelan.
Maryam sedang menemaninya makan. Kali ini berhasil me maksa Lail.
” Dia mencintaimu, Lail.”
” Tapi kenapa dia tidak menghubungiku?” Lail menyuap makan an dengan mata
berkaca-kaca.
” Mungkin dia punya alasan baiknya.”
” Tapi kenapa dia membuatku menunggu? Menyiksaku?”
Maryam terdiam. Itu benar. Apa pun alasannya, seharusnya Esok sudah
menelepon Lail. Ini sudah semakin dekat, pemuda itu tidak seharusnya
membuat Lail begini.
”Apakah dia memberikan tiket itu kepada Claudia?”
Maryam menggeleng. ”Aku tidak tahu.”
Lengang sejenak.
Lail menangis, sambil mengunyah makanannya. ”Aku tidak ingin naik kapal
itu, Maryam. Aku hanya ingin tahu apakah Esok mencintaiku atau tidak.
Kalaupun dia memutuskan pergi tanpa memberitahuku, setidaknya aku tahu
jawabannya.”
Maryam menatap Lail dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ter tusuk pilu
melihat teman sekamarnya sedang nelangsa me nunggu kabar.
” Maryam, aku ingin melupakan semuanya. Semua ingatan ini. Semua
kenangan, semua pikiran-pikiran buruk yang melintas. Aku ingin
menghapusnya dari kepalaku. Aku sudah tidak tahan lagi.” Lail terisak.
Maryam memeluk bahu Lail erat-erat. Kejadian ini meng ingat kannya atas
kisah lama itu.
Kisah seorang raksasa yang juga ingin menghapus ingatan nya.