Page 243 - hujan
P. 243
sangat menyakitkan. Butuh ber tahun-tahun penyembuhan. Kali ini, apa pun
keputusan Esok, siapa pun yang akan dia ajak, Ibu juga akan kehilangan putra
terakhir Ibu. Tapi tidak mengapa. Toh semua akan kalah oleh waktu. Ibu belajar
banyak bahwa sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan
sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit,
menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia
telah berhasil menaklukkan diri sendiri.
” Ibu akan menghabiskan sisa waktu dengan terus membuat kue di toko ini.
Melewati hari-hari terakhir dengan riang. Me lewati musim panas. Hanya itu
yang tersisa bagi kita semua. Dan itu sudah sangat membahagiakan. Ibu akan
senang jika kalian terus mengunjungi toko ini.”
Tidak ada kesimpulan atas percakapan itu. Lail tetap tidak tahu siapa yang
akan diajak oleh Esok.
Akhirnya mereka berpamitan, pulang ke apartemen. Ibu Esok seperti biasa
mengantar hingga depan pintu.
” Mungkin sebaiknya kamu menelepon Esok, Lail,” Maryam menyarankan saat
mereka sudah di atas bus kota.
Lail menggeleng. Dia tidak akan berani melakukannya.
Bus kota rute 12 melintasi jalanan panas. Taman-taman bu nga terlihat layu.
***
Tiga hari berlalu. Tetap tidak ada kabar dari Esok.
Itu menjadi tiga hari yang sangat menyiksa Lail. Membuatnya banyak melamun
di apartemen. R ambutnya berantakan. Gadis itu kurang tidur.
” Kamu harus makan, Lail,” Maryam membujuk.
”Aku tidak lapar.”
” Tentu saja kamu tidak lapar dengan semua pikiran itu.” Maryam nyengir lebar.
” Tapi kamu harus makan, sebelum sakit.”
Lail menggeleng.
”Aku cemas, jangan-jangan pikiran itu membunuhmu lebih dulu dibanding
musim panas ekstrem.” Maryam berseru ketus, sebal melihat Lail yang tetap