Page 76 - hujan
P. 76
Esok kembali tertawa.
Lail mungkin tidak menyadarinya, tapi berteman dengan Maryam yang
memiliki selera humor—meski kadang berlebih an—membuatnya lebih riang.
Apalagi setelah sekian lama tidak bertemu Esok, Lail terlihat sangat senang.
Esok mengayuh sepedanya menuju lubang tangga darurat kereta bawah tanah.
Dulu, saat membujuk Lail agar bergegas naik sepeda sebelum hujan asam turun,
Esok pernah bilang, dia akan menemani Lail ke sana. Siang itu, tujuan pertama
mereka adalah lubang tangga darurat itu. Tempat mengenang ibu Lail, juga
mengingat empat kakak laki-laki Esok. Tempat itu masih seperti dulu.
Lubangnya ditutup dengan papan kayu, diberi tanda ” Berbahaya” agar tidak ada
yang melintas di atasnya.
Lima belas menit berlalu, Lail dan Esok hanya diam, menatap dari seberang
perempatan jalan.
Selepas dari tempat itu, Esok membelokkan sepeda menuju reruntuhan rumah
Lail. Kompleks rumah itu sudah berubah. Ada belasan rumah yang telah dan
sedang dibangun kembali. Re runtuhan sudah dibersihkan dari lokasi rumah
Lail, menyisa kan tanah kosong. Tidak akan ada yang membangun rumah Lail.
Kakek-neneknya, kerabat dekatnya di kota lain telah me ninggal saat bencana
gunung meletus. Tanah kosong akan terus demikian hingga Lail bisa
membangun rumah di sana.
Mereka juga menuju toko kue milik keluarga Esok. Esok mengayuh sepedanya
pelan, sambil bercakap-cakap, bergurau di atas sepeda. Itu kebersamaan yang
sangat menyenangkan. Tiba di area toko kue, yang tinggal hanya tanah kosong.
” Jika sudah sembuh, ibuku ingin membuka kembali toko kue,” Esok
memberitahu Lail.
Jalanan itu sudah hidup kembali, sebagian besar toko sudah berdiri. Itu
kawasan kuliner terkenal di kota. Beragam jenis makanan yang lezat dijual di
sana sebelum gempa bumi.
” Tapi bukankah ibumu tidak punya tabungan?”
”Orangtua angkatku bersedia membangun kembali toko kue dengan