Page 74 - hujan
P. 74

saat   Lail   sering   menghabiskan   waktu   bersama   ayah   dan   ibunya.   Siang   ini   air

                mancur ramai oleh penduduk. Satu-dua orang terlihat berfoto bersama, tertawa,

                berkejaran, bercengkerama.
                  Lail  hanya  bertahan  tiga  puluh  menit  di  sana.  Dia  tidak  me rasa  nyaman.  Dia

                menatap  keramaian  dengan  sebal.  Lihatlah,  se olah  hanya  dia  yang  sendirian  di

                air   mancur,   yang   lain   asyik   ber cakap-cakap   dengan   teman   dan   keluarga.   Lail
                menutup  buku nya,  memasukkannya  ke  dalam  tas,  berjalan  kaki  cepat  menuju

                halte bus. Lebih baik dia pulang ke panti.

                  Lima   menit,   bus   kota   rute   7   merapat.   Lail   bergegas   naik   ke   atas nya.   Dia
                mendekatkan  kartu  barcode  sensor  magnetik—anak-anak  panti  memiliki  kartu

                pas untuk menaiki transportasi umum. Dia mengempaskan badan di kursi dekat

                jendela, meng embuskan napas kesal.
                  Bus   kota   baru   berjalan   lima   meter   ketika   sebuah   sepeda   me rapat   ke   jendela

                tempat Lail duduk.

                  Terdengar  suara  ketukan  di  jendela  kaca.  Lail  menoleh,  hen dak  berseru  ketus,
                siapa   pula   pengguna   sepeda   yang   nekat   ber sepeda   begitu   dekat   dengan   bus,

                mengetuk kaca pula.

                  Tapi seruan Lail terhenti. Matanya menatap tidak percaya.
                  Itu Esok. Yang tertawa, berusaha menyejajari bus yang mulai melaju kencang.

                  Lail segera berdiri. R asa senang seperti mengimpit dadanya. Dia berlari kecil di

                lorong kursi, tiba di bagian depan bus.

                  ”Stop, Pak! Stop!” Lail berseru.
                  Sopir   bus   kota   menoleh.   ” Duduk,   Nak.   Kamu   tidak   boleh   berdiri   di   dekat

                pintu saat bus sedang berjalan.”
                  ”Aku   ingin   turun!”   Lail   tidak   peduli   jika   penumpang   lain   se karang   sibuk

                menonton.  Lihatlah,  Esok  tertinggal  jauh  di  be la kang.  Jalanan  menanjak  tajam,

                sepedanya tidak bisa secepat bus.

                  ” Kamu hanya bisa turun di halte terdekat, Nak,” sopir bus ba las berseru.
                  ”Aku ingin turun sekarang,” Lail memaksa.

                  Sambil   menggerutu,     sopir   bus   akhirnya   mengalah.   Dia   meng hentikan    bus,
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79