Page 75 - hujan
P. 75
membuka pintu otomatis. Lail bahkan sudah lon cat sebelum pintu itu terbuka
sempurna, berteriak bilang terima kasih.
”Anak itu! Mungkin dia sedang kebelet ke toilet.” Sopir bus melajukan busnya
kembali. Penumpang mengangguk- angguk, ter tawa. Boleh jadi.
Lail tidak mendengarkan gerutuan sopir. Dia sudah berlari menuruni jalanan.
Esok dua ratus meter darinya mengayuh se peda, menaiki tanjakan panjang.
Mereka berdua bertemu persis di tengah tanjakan.
Mereka tertawa satu sama lain. Napas Esok tersengal, tertawa lagi.
***
” Minggu-minggu ini aku sibuk sekali,” Esok memberi tahu. ”Sebentar lagi ujian
masuk perguruan tinggi. Ayah angkatku ingin aku diterima di kampus terbaik,
di jurusan paling sulit.”
Lail yang duduk di jok belakang sepeda mengangguk. Dia sudah menduganya.
”Ayah angkatku menyuruhku belajar setiap hari, bahkan di hari libur. Pulang
dari sekolah, langsung belajar, juga saat libur se kolah. Baru siang ini dia
mengizinkanku keluar beberapa jam. Tadi aku sempat ke panti, kamu tidak ada
di sana. Tidak ada yang tahu kamu pergi ke mana. Lantas aku memikirkan
kolam air mancur. Aku tiba di sana saat kamu bersiap-siap naik ke atas bus, me-
ngejar bus itu. Kamu tidak dimarahi sopirnya gara-gara berhenti di sembarang
tempat, bukan?”
Lail tertawa, dia tidak sempat memperhatikan sopir bus.
” Bagaimana sekolahmu?”
” Membosankan,” Lail menjawab jujur.
Esok ikut tertawa.
” Bagaimana kabar ibumu?” Lail ganti bertanya.
” Kondisinya jauh lebih baik. Orangtua angkatku mendatang kan tim dokter
terbaik. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan mereka. Biayanya pasti
mahal.”
”Aku tahu bagaimana cara membalasnya. Mungkin kamu ha rus mencuci pantat
panci di keluarga itu selama seratus tahun. Baru lunas,” Lail bergurau.