Page 72 - hujan
P. 72
Saat itulah Lail menyadari sesuatu. R ambut kribo Maryam ber sih. Terasa
lembut di tangan, aroma wangi sampo tercium. Alih-alih ada kutu, rambut
Maryam terlihat indah selesai di sisir.
” Terima kasih.” Maryam tersenyum, rambutnya telah rapi.
Lail balas tersenyum. Dia merasa bersalah.
” Nah, sepertinya mulai sekarang kamu tidak akan melihat aneh ke rambut
kriboku lagi, Lail.”
” Eh?” Lail tidak mengerti.
” Tentu saja aku tahu apa yang kamu pikikan sejak pertama kali kita bertemu.
Kutu, bukan? Di panti asuhan lama, di tenda pengungsian, aku sudah terbiasa
dengan tatapan itu. Jadi aku memutuskan memintamu menyisir rambutku,”
Maryam berkata santai, dengan suara nyaring khasnya. ”Ayo, aku lapar, hampir
waktu makan malam.”
Lail terdiam, menatap punggung Maryam yang melintasi pintu kamar.
Sejak saat itu itu Lail tahu, dia punya teman yang baik hati. Teman sekamar
yang lebih dewasa dibanding usianya yang baru empat belas tahun.
***
Satu bulan tinggal di sana, Lail mulai terbiasa dengan jadwal ketat panti sosial,
tidak perlu lagi dibangunkan Maryam. Setiap minggu mereka punya waktu satu
hari bebas, bertepatan dengan hari libur sekolah. Penghuni panti bisa keluar dari
kompleks bangunan, melakukan aktivitas yang disukai.
” Kamu besok mau ke mana?” Maryam bertanya sambil mem baca buku. Besok
hari bebas mereka.
Lail menggeleng tidak semangat. Sudah empat kali hari bebas, dia selalu
tinggal di panti.
” Mau ikut kami ke Century Mall? Menonton?” Maryam me nawarkan.
Itu tawaran menarik. Film pertama hasil produksi setelah ben cana gunung
meletus akhirnya dirilis di bioskop—setelah hanya memutar Jlm-Jlm lama.
Trailer-nya ditayangkan berkali-kali di televisi ruang bersama panti. Terlihat
keren.