Page 70 - hujan
P. 70
Pukul enam lewat tiga puluh, anak-anak berangkat ke sekolah. Pengawas lantai
mengingatkan, semua anak harus pulang segera setelah sekolah, tidak ada yang
boleh berkeliaran di kota tanpa izin. Mereka masih sekolah di tempat lama
masing-masing. Trans portasi publik sudah normal. Bus kota dan trem sudah
ber lalu-lalang di jalanan kota. Rute dan frekuensinya memadai. Hanya kereta
bawah tanah yang belum beroperasi, ditutup per manen hingga waktu yang
belum ditentukan.
Lail berangkat ke sekolah bersama Maryam. Mereka menaiki bus rute 12.
Maryam turun lebih dahulu, menunggu bus rute lain di halte transit. Lail
melambaikan tangan. Dia meneruskan perjalanan dengan bus yang sama,
menuju sekolahnya. Bus rute 12 juga melewati sekolah Esok. Lail menatap
bangunan sekolah dua lantai itu. Halamannya ramai oleh murid yang baru tiba.
Beberapa terlihat bermain bola basket. Dalam hati Lail ber gumam, mungkin ada
Esok di antara mereka. Sejak Esok dan ibunya pindah ke rumah baru, Lail
belum bertemu dengan Esok. Mungkin Esok sibuk belajar, tahun depan dia
akan kuliah.
Bus terus melaju. Bangunan sekolah itu tertinggal di bela kang.
Pukul satu siang, jadwal pulang sekolah, Lail kembali menaiki bus rute 12,
menuju panti sosial.
”Aku sudah menduga akan bertemu kamu lagi, Lail.” Di halte transit, Maryam
naik, berjalan di lorong kursi. Siang hari, rambut kribonya semakin
mengembang. Jerawat di wajahnya juga memerah. Mungkin hari ini Maryam
disuruh mengerjakan soal matematika, membuat rambut itu tambah besar.
Memikirkan soal itu membuat Lail tertawa, sambil bergeser memberikan
tempat duduk.
” Kenapa kamu tertawa?” Maryam menyelidik, duduk di se belah.
Lail buru-buru menutup mulutnya. ”Aku tertawa karena se nang melihatmu
naik.”
”Oke.” Maryam meletakkan tasnya di kursi. ”Aku memang pu nya bakat itu.”
” Bakat apa?” Lail tidak mengerti arah percakapan.