Page 69 - hujan
P. 69
Tidak seperti di tenda pengungsian, di panti sosial ada banyak jadwal dan per-
aturan yang harus dipatuhi. Jangan coba-coba melanggar, atau bersiaplah
menerima jenis hukuman memalukan. Kantor para pengasuh dan Ibu Suri ada
di lantai satu.
Kehidupan di panti dimulai pukul lima pagi. Semua penghuni harus bangun,
merapikan kamar masing-masing. Anak-anak yang bertugas mengepel lantai dan
menyikat kamar mandi bangun tiga puluh menit lebih awal. Juga anak-anak
yang mendapat piket bekerja di dapur dan ruang makan. Walaupun selama di
tenda pengungsian punya rekor bangun kesiangan, Lail bisa ba ngun tepat waktu
di panti karena Maryam selalu membangunkan nya.
”Sebelum gunung meletus, aku juga sudah tinggal di panti asuhan.” Maryam
nyengir, melipat selimutnya. ” Berdelapan di satu kamar sempit. Hanya ada
empat kasur kecil, kami tidur berimpitan. Pengasuhnya lebih galak. Dia
menyiram kami de ngan air dingin jika kami terlambat bangun.” Penjelasan yang
masuk akal.
Lail menguap lebar. Dia masih mengantuk. Malam pertama di panti sosial, dia
belum terbiasa, baru tertidur setelah larut malam. Kepalanya memikirkan
banyak hal. Biasanya dia menatap atap tenda, sekarang menatap plafon kamar.
Menatap dinding kamar yang dicat biru. Di luar, langkah kaki pengasuh yang
ber jalan di lorong terdengar, memeriksa apakah semua penghuni panti sudah
bangun.
Pukul enam, semua penghuni panti harus sudah berada di ruang makan besar
dengan pakaian rapi, duduk di hadapan meja-meja panjang. Ada enam meja
panjang, dipenuhi ratusan anak-anak. Saatnya mereka sarapan.
Lail melirik rambut kribo Maryam yang duduk di sebelah nya.
”Ada apa?” Maryam menyelidik. ” Kamu selalu melihat rambut ku.”
Lail buru-buru mengalihkan tatapan ke depan. Dia masih belum terbiasa
melihat rambut kribo mengembang sebesar itu. Dia khawatir ada satu-dua kutu
loncat masuk ke dalam mang kuk sup yang terhidang di meja. Lail bergegas
mengusir bayang an itu sebelum selera makannya pergi.