Page 64 - hujan
P. 64
Lail menelan ludah. Itu benar. Jika Esok diadopsi oleh ke luarga lain, Esok akan
tinggal di sana, tidak ikut tinggal di panti.
Lail dan Esok terdiam satu sama lain.
” Mereka juga bersedia menampung ibuku.... Aku sebenar nya tidak tertarik,
lebih suka tinggal di panti. Aku bisa sekolah, bekerja, menjaga Ibu, bersama
kamu. Tapi Ibu membutuhkan perawatan serius. Dia terus sakit-sakitan.
Tinggal bersama ke luarga baru mungkin akan membuat Ibu lebih sehat,” Esok
ber usaha menjelaskan.
Lail mengangguk samar. ” Iya, itu benar. Ibumu akan lebih baik di sana.”
” Kamu tidak sedih?”
Lail menggeleng. ”Aku senang mendengarnya.”
”Sungguh?”
Lail tersenyum. ” Kapan pun kita bisa bertemu lagi, kan? Kota ini tidak sebesar
dulu.”
Esok akhirnya ikut tersenyum. Ternyata ini menjadi percakap an yang mudah.
Mereka pulang ke stadion saat gerimis mulai turun. Esok mengayuh sepedanya
dengan cepat, melesat di jalanan aspal. Di jok belakang, Lail berpegangan erat.
Matanya berair. Sejak tadi dia menahan tangis. Dia berusaha ikut senang
mendengar kabar itu. Sudah setahun dia tinggal bersama Esok. Semua penghuni
tenda pengungsian bahkan hafal; di mana ada Esok, berarti ada Lail, dan
sebaliknya, jika ada Lail, berarti ada Esok bersama nya.
Hujan turun menderas. Lail akhirnya menangis tanpa dike tahui siapa pun.
***
Tapi itu sebenarnya bukan kabar buruk.
Sudah seharusnya Lail turut senang. Esok anak yang pintar. Keluarga mana
pun akan tertarik mengangkatnya menjadi anak asuh. Bahkan kalaupun
termasuk mengurus ibunya yang sakit-sakitan di atas kursi roda.
Dua minggu setelah percakapan itu, Esok dan ibunya pindah ke rumah baru.
Tidak banyak yang dibawa Esok, hanya tas ber isi pakaian—dan sepeda merah
itu. Semua keperluannya sudah disiapkan keluarga barunya di sana. Seluruh