Page 60 - hujan
P. 60
kembali menghijau, tapi langit tetap ter lihat cokelat. Emisi gas menetap di
stratosfer hingga puluhan ta hun, mengubah iklim dunia. Kota tempat mereka
tinggal suhu rata-ratanya sekarang menjadi delapan sampai sepuluh derajat
Celsius.
Lail yang duduk di jok belakang mendongak, membiarkan wajahnya terkena
tetes gerimis. Esok mengayuh sepedanya dengan cepat, melintasi jalanan aspal,
berpapasan dengan alat-alat berat yang terus bekerja dan puluhan tukang yang
mem perbaiki gedung-gedung. Proyek pembangunan terlihat di setiap jengkal
jalanan. Kota itu telah menggeliat kembali, bangkit dari bencana.
Esok tidak bilang ke mana mereka akan pergi. Tanpa banyak bertanya, Lail
menunggu hingga sepeda itu berhenti, dan dia tahu ke mana tujuan mereka.
Tempat yang amat dikenalinya.
Itu adalah lubang tangga darurat kereta bawah tanah, tempat mereka dulu
berhasil menyelamatkan diri. Di atas lubang itu ter pasang konstruksi alat berat.
Beberapa marinir dengan pakai an lapangan berwarna oranye terlihat menuruni
lubang. Apa yang mereka kerjakan?
” Hari ini mereka mulai mengevakuasi korban yang tertimbun di kereta bawah
tanah,” Esok menjelaskan.
Lail terdiam. Itulah kenapa Esok mengajaknya ke sini. Ini tempat ibunya
meninggal, dan empat kakak laki-laki Esok. Apa kah marinir akan berhasil
menemukan tubuh ibunya setelah tiga bulan? Mengenalinya?
Esok seperti tahu apa yang dipikirkan Lail, menggeleng. ” Tidak akan ada
korban yang dikenali, Lail. Semua tinggal kerangka. Empat kakak laki-lakiku,
ibumu, dan ratusan pe numpang lain sudah tidak bisa dibedakan, kecuali
dilakukan tes detail, seperti tes DNA. Tapi petugas tidak sempat me lakukan nya,
dan memang tidak penting untuk dilakukan. Masih ada ribu an tubuh lain yang
belum dievakuasi dari tempat-tempat yang lebih sulit.”
Lail menahan napas. R asa sedih tiba-tiba menyeruak di dada nya. Kenangan
saat ibunya terjatuh ke bawah lubang anak tangga darurat muncul di kepalanya.
Seperti layar televisi yang mengulang sebuah adegan dalam gerakan lambat.