Page 58 - hujan
P. 58
terdiam, menatap celemek barunya. ” Kamu yang meminta mereka agar aku
dipindahkan, kan?”
Esok nyengir, mengangkat bahu, kembali asyik menatap ham par an tenda
raksasa yang telah lengang. Penghuninya beranjak tidur.
***
Hari ke-21, ibu Esok akhirnya keluar dari rumah sakit.
Esok dan Lail menjemputnya dari rumah sakit, membawanya ke stadion. Toko
kue itu tidak bisa dihuni. Meskipun masih ber diri, bangunan itu retak di mana-
mana. Otoritas kota melarang penduduk kembali ke rumah sebelum lulus
veriJkasi. Esok mendorong kursi roda ibunya di antara tenda-tenda
pengungsian. Dia dengan riang menjelaskan banyak hal, memperkenalkan ibu-
nya kepada petugas, marinir, dan relawan. Lail lebih banyak diam, berjalan di
belakang.
Proses pemulihan ibu Esok berjalan baik, kondisi ibunya jauh lebih sehat, tapi
kesedihan masih tersisa di matanya. Mungkin bagi anak-anak, proses pemulihan
bisa lebih cepat, tapi tidak bagi orang dewasa. Ada begitu banyak kenangan yang
telah ter kumpul di kepala mereka. Membuat sesak. Apalagi dengan kondisi kaki
yang telah diamputasi—berpikir dia hanya akan men jadi beban bagi orang lain.
Berkali-kali ibu Esok meng embuskan napas, seolah ada beban berat mengimpit
dadanya.
Hari ke-30, satu bulan berlalu sejak gunung meletus, sekolah darurat didirikan
di dekat pengungsian. Sebuah tenda besar di pasang, juga plang dengan tulisan
”Sekolah Darurat Kelas 1-9”. Guru-guru yang sebagian besar adalah relawan
mulai mengajar. Lail terdaftar di kelas 7. Aktivitas mereka sekarang berubah.
Seluruh anak-anak harus sekolah sebelum bekerja membantu di pengungsian.
Lail bangun pagi-pagi, menuju ka mar mandi umum, mandi dengan cepat,
kembali ke tenda, menyiapkan buku dan alat tulis yang telah dibagikan
sebelumnya, juga sarapan dengan cepat di dapur umum, lantas berjalan kaki
menuju sekolah. Lail masih meng ingatnya dengan baik, ketika ibunya
menemaninya be rangkat sekolah sebulan lalu, menyibak kesibukan jalanan kota.