Page 63 - hujan
P. 63
Hari itu, sepulang menjemput Lail dari sekolahnya dengan sepeda, mereka
duduk menatap kolam air mancur yang sedang dibangun. Mereka menonton
truk molen yang menumpahkan adonan semen, alat-alat konstruksi bekerja, juga
para tukang yang hilir-mudik.
”Apakah kamu akan ikut ke panti sosial?” Lail bertanya.
Esok diam, mendongak. Langit di atas kepala mereka terlihat mendung.
Itu topik percakapan mereka sebulan terakhir. Dalam waktu dekat, delapan
pusat pengungsian di seluruh kota akan ditutup. Anak-anak yang tidak memiliki
keluarga dipindahkan ke panti sosial. Orang dewasa yang tidak punya tempat
tinggal dipindah kan ke rumah susun. Orang tua, penderita sakit menahun, pe-
nyandang cacat, dan orang yang tidak punya keluarga akan dibawa ke panti
khusus. Pemerintah kota telah membangun fasilitas ter sebut setahun terakhir.
Sejak sebulan lalu pula Esok ingin membicarakan soal itu, tapi dia tidak mau
membuat Lail sedih.
” Esok...” Lail menyikut lengan Esok.
Esok menoleh.
”Apakah kamu dan ibumu akan ikut ke panti?” Lail meng ulang pertanyaan.
Esok menggeleng perlahan. Cepat atau lambat dia harus mem beritahu Lail.
Mungkin sekarang saatnya yang tepat, ketika me reka sedang menonton
pembangunan kolam air mancur, land mark penting kota.
”Aku tidak ikut ke panti sosial.”
” Kenapa?” Lail bertanya.
”Ada keluarga yang bersedia mengangkatku jadi anak asuh, sekaligus
menyekolahkanku setinggi mungkin.” Suara pelan Esok hampir tidak terdengar,
kalah oleh suara alat-alat berat yang sedang mengecor kolam air mancur.
”Oh ya?” Lail terlihat riang.
Esok mengusap wajahnya, balas menatap wajah Lail. Dia mengira Lail akan
sedih.
”Aku senang mendengarnya, Esok.”
” Tapi itu berarti kita tidak bisa bersama-sama lagi.”