Page 66 - hujan
P. 66

” Hai!” seruan melengking langsung menyapa.

                  Seorang   anak   perempuan     berusia   empat   belas   tahun,   se pantar an   dengannya,

                sedang memindahkan pakaiannya ke dalam le mari, menoleh kepadanya.
                  ” Eh, hai,” Lail menjawab sedikit gugup.

                  ” Namaku     Maryam.”     Anak    perempuan      itu   berdiri,   menyodor kan    tangan.

                Suaranya terdengar nyaring lagi—mungkin memang begitu cara dia bicara.
                  ” Eh, namaku Lail.” Lail ragu-ragu bersalaman.

                  ” Kamu kenapa sih?” Maryam tertawa.

                  ” Eh.”   Lail   menelan   ludah.   Dia   sudah   tahu   akan   memiliki   te man   sekamar.
                Petugas    di   depan   telah   menjelaskannya.   Setiap   ka mar   diisi   dua   orang.   Tapi

                teman  sekamarnya  ini  di  luar  duga an.  Tubuhnya  tinggi  dan  kurus.  R ambutnya

                kribo. Wajahnya tirus, jerawatan, dan berkawat gigi.
                  R ambut  kribonya  sangat  lebat,  mengembang  seperti  bola  besar.  Lail  teringat

                kejadian  setahun  lalu,  saat  mereka  baru  bisa  mandi  setelah  tujuh  hari  di  tempat

                pengungsian.
                  Kutu. R ambut kribo.

                  ” Kamu tidak takut bertemu denganku, kan?” Maryam me nye lidik.

                  ” Tidak. Aku tidak... eh, aku hanya kaget.” Lail berusaha ri leks.
                  ”Oke.” Maryam melambaikan tangan. ” Kamu mau tempat tidur yang mana? Di

                atas  atau  di  bawah?  Aku  sudah  memilih  yang  bawah.  Tapi  kalau  kamu  mau,  aku

                bisa pindah ke atas. Atau kita bisa tukaran setiap bulan, biar adil.”

                  ”Aku di atas saja.”
                  ”Oke.”   Maryam     terlihat   senang,   kembali   memasukkan     pakain nya   ke   dalam

                lemari.
                  ”Omong-omong,  kamu  dari  tempat  pengungsian  mana?  Aku  dari  Pengungsian

                Nomor 3.”

                  ”Stadion bola, Pengungsian Nomor 2.” Lail menurunkan tasnya.

                  ”Stadion  bola?  Pasti  menyenangkan  tinggal  di  sana.  Tempatku  hanya  lapangan
                tanah  luas  yang  becek  setiap  hujan.  Tapi  bagus lah,  sekarang  kita  tinggal  di  sini.

                Aku belum pernah tinggal di kamar sebagus ini.”
   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71