Page 53 - hujan
P. 53
darurat kereta.” Mata Lail berkaca-kaca.
” Lupakan, Lail. Itu bukan apa-apa. Ayo, perutku lapar.” Esok tersenyum,
berbalik badan, melangkah di tengah keramaian penduduk yang bersiap antre
mengambil makanan.
Lail menatap punggung Esok.
Punggung anak laki-laki yang kelak amat dia sayangi.
***
Pagi hari ketiga, debu kembali turun. Hanya perlu dua belas jam, tingginya
sudah sama seperti sebelum diguyur hujan ke marin siang, membuat kelabu
seluruh kota. Udara semakin di ngin.
Lail memutuskan untuk meneladani apa yang dilakukan Esok di tempat peng-
ungsian. Lail menawarkan diri membantu, mulai terbiasa dengan sekitar. Salah
satu petugas dapur umum me nerima nya bekerja, menyuruhnya mencuci piring,
alat masak, panci, atau apa pun yang bisa dia cuci. Diberikan sarung tangan dan
sepatu bot, Lail bekerja di antara rela wan lainnya.
Esok sudah melakukan itu sejak hari pertama, mulai dari me nawarkan
membawa barang-barang, membagikan masker, ber cakap-cakap dengan marinir,
petugas kesehatan, dan menguping informasi. Dia belajar dengan cepat.
Sebelum bencana gunung meletus, Esok adalah murid terbaik di sekolah.
Setelah gempa, baginya stadion itu menjadi tempat belajar dan bertualang baru.
Hari ketiga, menyadari Esok sangat suka dengan sepeda merah itu, marinir
memberinya tugas sebagai kurir antarlokasi peng ungsi an. Ada banyak dokumen
berita yang harus diantarkan ke delapan lokasi pengungsian. Jaringan
komunikasi belum pulih. Handy talkie terbatas jaraknya. Tidak semua orang
punya tele pon satelit. Esok dengan sepeda merah bisa menjadi solusi se mentara.
Setiap sore, saat tugasnya telah selesai, Esok memacu sepeda nya ke rumah
sakit, menjenguk ibunya. Kondisi ibunya membaik, tapi tetap akan butuh waktu
tiga sampai empat minggu hingga ibunya bisa keluar dari rumah sakit. Luka
operasi amputasinya belum kering. Dengan tugasnya sebagai kurir, Esok bisa
mengelilingi seluruh kota, melihat ke rusakan lebih detail, juga menyaksikan