Page 51 - hujan
P. 51

kota yang lengang. Satu menit, dia kembali melanjutkan perjalanan.

                  Ibu Esok sedang menghabiskan semangkuk bubur saat mereka tiba.

                  ” Perkenalkan,  ini  Lail,  Bu.  Aku  bersamanya  saat  di  dalam  kap sul  kereta,  juga
                saat   keluar   lewat   tangga    darurat,”   Esok   ber kata   riang.   ” Lail   juga   yang

                menemaniku      saat   menemukan     Ibu   di   toko.   Dia   berteriak   memanggil   petugas

                yang menolong Ibu.”
                  ”Selamat  sore,  Lail,”  ibu  Esok  menyapa  dengan  suara  pelan.  Wa jah nya  sudah

                memerah, tidak sepucat saat ditemukan ke marin pagi.

                  Lail  mengangguk,  balas  menyapa.  Dia  sejak  tadi  memper hati kan  lamat-lamat
                ibu   Esok.   Usianya   sekitar   45   tahun,   ram butnya   beruban.   Wajahnya   lebih   tua

                daripada  usianya,  mung kin  karena  dia  harus  mengurus  lima  anaknya  sendirian.

                Tatapan  Lail  terhenti  saat  tiba  di  ka ki  ibu  Esok.  Dua  kaki  itu  diamputasi  hingga
                paha. Lail menelan ludah, dia tidak tahu soal itu.

                  ” Dokter   tidak   bisa   menyelamatkan      kaki   ibuku,”   Esok    berbisik.   ” Harus

                diamputasi sebelum busuk.”
                  Lail menahan napas. Kehilangan dua kaki? Itu menyedihkan sekali.

                  ”Setidaknya Ibu selamat.” Esok tersenyum. ” Itu lebih dari cukup bagiku.”

                  Lail menatap jeri bagian bawah tubuh ibu Esok.
                  Mereka tidak bisa lama menemani ibu Esok, dokter hendak me meriksa kondisi

                terakhir  hasil  operasi.  Lagi  pula  sebentar  lagi  malam.  Esok  berpamitan  kepada

                ibunya. Mereka akan kembali ke tenda pengungsian.

                  Mereka menaiki sepeda merah, disiram matahari senja.
                  Sepanjang    jalan   mereka   lebih   banyak   diam.   Esok   mengayuh   sepeda   dengan

                riang.   Mendapati    ibunya   telah   siuman   adalah   kabar   terbaik   bagi   Esok   sejak
                gempa  bumi  dua  hari  lalu.  Semen tara  di  jok  belakang,  Lail  tenggelam  dengan

                pikirannya.  Bertemu  dengan  ibu  Esok  yang  kehilangan  dua  kaki  membuat  Lail

                ber pikir   banyak.   Dia   seharusnya   bisa   lebih   bersyukur.   Setidaknya   dia   selamat

                tanpa  kurang  satu  apa  pun.  Dia  jauh  lebih  ber untung.  Ibu,  Ayah,  di  mana  pun
                mereka berada sekarang, tidak ingin melihat dia patah semangat.

                  Lail  menatap  rumput  basah  dan  dedaunan  pohon  yang  ditimpa  cahaya  senja.
   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56