Page 46 - hujan
P. 46
mereka. Lima menit membujuk petugas, Esok dan Lail ke luar dari dapur umum
membawa bungkusan makanan, kem bali ke tenda.
Usai sarapan—Lail berhasil menghabiskan separuhnya—Esok bilang dia
hendak ke rumah sakit, menjenguk ibunya. Esok me nawarkan apakah Lail mau
ikut. Lail tidak menjawab, duduk melamun. Esok memutuskan pergi sendirian.
Masalah muncul ketika Esok kembali ke stadion satu jam ke mudian. Lail tidak
ditemukan di tenda.
Esok menyisir tenda-tenda di sampingnya, siapa tahu Lail ber keliling melihat-
lihat. Tidak ada. Hampir tidak ada orang yang berjalan-jalan di luar dengan abu
semakin tebal. Esok mulai cemas, bertanya ke petugas apakah mereka melihat
Lail. Petugas meng geleng. Ada ratusan anak kecil di pengungsian. Mereka tidak
ingat satu per satu.
Esok mengembuskan napas, mendongak, menatap langit yang mendung. Awan
hitam bergumpal di atas langit, sepertinya akan turun hujan. Itu kabar baik bagi
kota. Air hujan akan mengusir sejenak tumpukan abu, membuat udara lebih
bersih. Tapi hujan sekali gus juga kabar buruk
Esok mengusap rambutnya. Wajah nya tegang. Dia harus menemukan Lail
sebelum hujan turun, atau akan terjadi hal yang sangat mengerikan. Baiklah, jika
Lail tidak ada di tenda pengungsian, kemungkinan besar gadis itu menuju ke
tempat itu, reruntuhan rumahnya. Maka Esok bergegas.
” Kamu hendak ke mana?” Salah satu marinir di luar stadion menghentikan
Esok.
Marinir itu mengenal Esok. Anak laki-laki usia lima belas tahun yang
membantu apa pun yang dia bisa di tenda peng ungsi an. Esok menjelaskan
masalahnya dengan cepat.
” Kamu tidak bisa meninggalkan stadion. Petugas kesehatan me larang aktivitas
apa pun di luar. Abu vulkanik bisa menyebab kan kamu tercekik meski dengan
masker sekalipun.”
”Aku tahu larangan itu.” Esok mengangguk, suaranya serak. ” Tapi ini darurat....
Dan aku tidak mengkhawatirkan abu. Aku mengkhawatirkan hujan. Jika Lail