Page 49 - hujan
P. 49
mulai deras. Esok membelokkan sepeda keluar dari jalan an, masuk ke
rerumputan, melintas di bawah pepohonan, meng hindari tetes air.
Tiga puluh meter, berbelok lagi, melintasi tepi pasir, kemudian mengerem
sepeda di depan rumah-rumahan plastik berwarna oranye. Esok melompat
turun, menarik lengan Lail, berlari, mem biarkan sepeda tergeletak sembarangan.
Mereka tiba persis di dalam rumah-rumahan plastik saat hujan deras turun
tidak tertahankan. Hujan yang menyiram tumpuk an debu tebal.
Hujan asam.
***
2
Ruangan putih 4 x 4 m dengan lantai pualam tampak le ngang.
Gadis berusia dua puluh satu tahun di atas sofa hijau terdiam. Ceritanya
terhenti sejenak.
”Anak laki-laki itu, kamu sangat beruntung bertemu dengan nya saat gempa
bumi terjadi,” Elijah berkata pelan.
Gadis itu mengangguk. Itu benar sekali. Dia sangat ber untung. Esok bukan
siapa-siapa, tidak kenal sebelumnya, tapi dia amat peduli padanya. Dalam waktu
dua hari, dua kali Esok menyelamatkannya. Pertama saat di tangga darurat,
kedua saat hujan asam turun. Tidak terlambat walau sedetik. Esok telah meng-
anggapnya sangat penting, seperti adik sendiri. Gadis di atas sofa hijau
menunduk menatap lantai. Ya, benar, mungkin dia hanya dianggap seperti
adiknya sendiri.
Esok adalah anak bungsu dari lima bersaudara laki-laki. Ber temu dengan Lail
dalam kejadian itu membuatnya seperti me miliki adik perempuan. Esok
menemani Lail melewati masa-masa sulit, menghiburnya, memastikan dia
makan tepat waktu, meng urus semua keperluannya. Esok juga bicara dengan
petugas peng ungsian saat kehabisan makanan dan mencarikan selimut yang
lebih tebal.
Hari itu perasaan tersebut belum tumbuh. Lail masih anak perempuan tiga
belas tahun. Bertahun-tahun kemudian dia baru mengerti. Dia tidak ingin hanya
dianggap seperti adik.