Page 47 - hujan
P. 47
berada di luar saat hujan tu run, situasinya lebih berbahaya dibanding abu
vulkanik.”
Marinir bergumam, menimbang situasinya, memanggil teman nya, berdiskusi.
” Baik. Kamu pinjam sepeda dari petugas di meja pendaftaran. Waktumu hanya
satu jam, paham?”
Esok mengangguk. Itu lebih dari cukup.
Berlari-lari kecil Esok mengambil salah satu sepeda. Dia me lompat ke atas
joknya, mengayuh cepat, segera meninggalkan stadion. Dengan menggunakan
sepeda, gerakannya lebih tangkas. Esok merapatkan hoodie yang dia kenakan.
Udara dingin mem buat wajahnya kebas.
Jalanan kota sepi, hanya reruntuhan yang dilapisi abu tebal. Di beberapa pojok
jalan, Esok menemukan marinir dan petugas ke sehatan yang berpakaian antiabu
dan antiair masih melaku kan evakuasi. Mereka membongkar reruntuhan rumah,
mencoba me narik penduduk yang terjepit. Proses evakuasi berlangsung lambat
dengan abu di mana-mana. Sesekali Esok berpapasan dengan ambulans yang
melesat cepat, menyisakan abu mengepul di belakangnya.
Tidak ada Lail di rumah gadis itu. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Esok mengembuskan napas kecewa, memikirkan dengan cepat kemungkinan
lain. Waktunya terbatas. Dia mendongak. Awan tebal terlihat di atas langit. Di
mana Lail? Apakah dia sebaiknya segera kembali ke stadion? Menunggu Lail di
sana?
Esok memasang kembali hoodie di kepala, memperbaiki posisi masker, bergegas
naik ke atas jok sepeda. Dia tidak akan ber henti mencari Lail, masih ada satu
tempat lagi yang mungkin di kunjungi gadis itu.
Sepeda berwarna merah itu melesat cepat di jalanan, mem belah tumpukan
abu.
Tetes air hujan pertama akhirnya jatuh, masih jarang-jarang.
Esok mendongak, menggigit bibir. Dia tidak boleh ter lambat atau Lail dalam
bahaya. Dia harus segera menemukan Lail.
Esok mengayuh pedalnya secepat yang dia bisa. Dadanya ber degup lebih