Page 17 - Modul Pembelajaran Sejarah - Perlawanan Rakyat Daerah terhadap Penjajahan Bangsa Eropa
P. 17
ke Jawa sebagai pekerja rodi. Dikisahkan bahwa di dalam kapal Christina
Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut. Ia jatuh
sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya
dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan demikian,
berakhirlah perlawanan Pattimura.
2. Perlawanan Diponegoro Di Jawa
Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa
khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin
memprihatinkan. Intervensi pemerintah kolonial
terhadap pemerintahan lokal tidak jarang
mempertajam konflik yang sudah ada dan atau dapat
melahirkan konflik baru di lingkungan kerajaan. Hal
ini juga terjadi di Surakarta dan Yogyakarta. Campur
tangan kolonial itu juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton
yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang
tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras.
Dominasi pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai
objek pemerasan, sehingga semakin menderita. Pada waktu itu pemerintah
kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk
kepentingan perkebunan. Pada umumnya tanah itu disewa dengan
penduduknya sekaligus. Akibatnya, para petani tidak dapat
mengembangkan hidup dengan pertaniannya, tetapi justru menjadi tenaga
kerja paksa. Rakyat tetap hidup menderita.
Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan
kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena
diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak
tanah), (b) pengawang-awang (pajak halaman pekarangan), (c) pecumpling
(pajak jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak pindah
nama), dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan). Di
samping berbagai pajak itu masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean
atau tol. Semua lalu lintas pengangkut barang juga dikenai pajak. Bahkan
seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar