Page 125 - eBook Manajemen Pengantar_Neat
P. 125
PERSPEKTIF
Kedai Tiga Nyonya: Mengandalkan Masakan
Rumahan Tanpa MSG
Bahan baku Kedai Tiga Nyonya menurut Paul B. Nio, pendiri resto
dengan ciri khas masakan peranakan ini, hanya pada kondisi cuaca tertentu
beberapa bahan baku agak sulit dan naik harganya. Seperti saat hujan
seperti ini, sayuran agak naik harganya. Ikan jenis tertentu juga langka,
karena nelayan tidak melaut dalam kondisi cuaca saat ini. Karena
kondisinya seasonal, ia tidak menaikan harga makanan yang dijualnya di
menu resto.
Ia beruntung dengan konsep masakan Nusantara, bahan baku dan
bumbu yang mayoritas didapat dari dalam negeri, “Walau masakan lokal,
harus dipikirkan pengemasan dan penyajiannya agar lebih cantik, walau
rasa masakannya sudah enak,” ujar pria 55 tahun ini. Kita memang senang
makan enak, tapi juga menikmati garnising masakan yang menarik juga.
Kita sering lihat masakan di resto bergengsi, datang saat dibuka makanan
yang disuguhkan di meja dengan ditutup untuk resto kelas michelin seperti
restoran Prancis, bahkan kalau lihat terlalu cantik males makannya.
Kedai Tiga Nyonya tahun ini sudah 10 tahun, dikatakan Paul, memang
diharapkan bisa terus langgeng hingga kapan pun. Ide masakan peranakan
ini, tujuannya ingin melestarikan masakan dan resep yang dimiliki keluarga
Paul. “Kami ingin mengenalkan masakan sehari-hari di keluarga kami,
dikemas dengan menarik dan sehat, tanpa bumbu penyedap, bahannya
pilihan juga, dipadukan dengan desain yang menarik dan ada khasnya,”
ujar ayah satu putra yang kini bekerja sebagai konsultan di Accenture ini.
Ia sejak awal ide hingga resto ini berdiri, tidak ingin asal-asalan dalam
menyajikan masakannya. “Kami bidik orang-orang kantoran, eksekutif,
apalagi lokasi restonya dekat perkantoran,” katanya. Maka itulah sejak
awal mendirikan resto Kedai Tiga Nyonya — gerai pertama di TIS Square,
Tebet, Jakarta — adalah lokasi yang dekat dengan perkantoran, namun
juga dengan lokasi sekitarnya yang juga ada perumahan atau tempat tinggal.
Paul kala membuka resto ini berusia 45 tahun, ia meninggalkan
posisinya sebagai Direktur di Summarecon Group untuk mewujudkan
impiannya memiliki usaha sendiri. Karena merasa bukan dari keluarga
pebisnis, uang pun tidak banyak dari segi modal, maka itu Paul memilih
mengembangkan restonya dengan sistem waralaba setelah beberapa tahun
berdiri. Sistem ini memungkinkan resto ini bisa ada di beberapa tempat.
114 Manajemen Pengantar