Page 190 - Gabungan
P. 190
jalan mundur. Waktu itu aku juga dengar Amerika menjatuhkan bom
atom di Jepang. Jepang sudah kelelahan setelah bertahun-tahun
berperang di Asia. Saat itu, aku hanya berpikir bagaimana melindungi
penduduk desa, jadi aku menasihati Yamamoto beberapa kata.
Meskipun dia seorang tentara, dia pernah bersekolah dan masih
punya akal sehat, tidak seperti ‘Babi Hutan’ Tanaka yang langsung
lupa segalanya kalau melihat wanita. Aku ingat sepertinya aku
berbisik ke Yamamoto: ‘Beri sedikit kebaikan, suatu hari kita akan
bertemu lagi. Bom atom itu…’ Itu menyakiti harga dirinya dan
membuatnya marah. Sebagai perwira rendah, dia pasti tahu situasi
perang sudah berubah. Orang seperti aku yang berdagang di kota
saja tahu soal bom atom, masak Yamamoto tidak tahu? Dia pasti tahu.
Yamamoto punya akal, dia tidak berani berbuat apa-apa padaku.
Kalau saat itu dia membunuhku, beberapa hari kemudian Jepang
menyerah, bukankah kalian akan mencincangnya sampai hancur?"
"Tentu saja!" kata Untung Budiman.
"Aku sendiri heran, saat pedang Yamamoto di bahuku, aku sama
sekali tidak takut. Seperti kata pepatah Tiongkok kuno: ‘Keberanian
datang dari kebenaran.’ Meskipun aku tidak bersenjata, rasanya
seperti ada pisau tak kasatmata yang menikam dada Yamamoto.
Keberanian itulah yang menghancurkan semangatnya."
"Jujur saja, nyawaku adalah pemberian Tuan Bai!" Untung
190

