Page 39 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 39
***
Akhir-akhir ini bapak sering pulang malam. Kadang-
kadang bapak malah pulang pagi. Semula aku bersyukur,
pekerjaan bapak sebagai montir membaik lagi. Perusahaan
Sehati mungkin sudah mulai beli bis baru. Namun, ternyata
aku salah.
Suatu sore bapak pulang mengeluh badannya sakit.
Bapak bilang sedang masuk angin. Tidak biasanya bapak
mengeluh sakit. Bapak minta dipijit jika beliau merasa capek.
Ketika aku masih SD, bapak sering menyuruhku menginjak-
injak punggungnya. Begitu cara ku memijit bapak. Kalau
memijit menggunakan tangan, bapak tidak akan terasa,
karena badanku kecil dan kurus.
Kini aku sudah SMP kelas tiga. Badanku sudah mulai
berkembang. Bahkan sudah boleh dikatakan gemuk. Aku
sekarang tidak kelihatan tomboy lagi. Setelah banyak
mendapat ilmu agama di sekolah aku lebih pendiam. Aku juga
tidak bermain dengan kakak dan teman-temannya lagi.
Perubahan ini kadang dijadikan bahan godaan sebagian
tetanggaku. ”Ayo main kelereng lagi,” katanya. “Kok tidak
ikut main layang-layang?“ Aku hanya tersenyum. Kadang
kalau ada ibu di dekatku, ibulah yang menyahut celotehan
mereka. Aku sudah tidak suka pakai celana pendek. Celana
olahraga di sekolah saja panjang di bawah lutut.
“ Bapak dikerik pripun?” Tanyaku menawarkan. Ibu
sedang beres-beres belanjaan.
“Apa kamu bisa?”
“ Insyaallah bisa. Nanti saya ngeriknya kuat-kuat, biar
Bapak cepat sembuh.” kataku meyakinkan.
Dalam Bingkai Kesabaran | 33