Page 38 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 38

lewat jalan  depan rumah kami. Ibu-ibu setor uang bayaran
             setiap hari  kepadanya. Aku melihat ibu  juga setor uang
             kepada bang Kredit.  Setahuku  ibu ambil barang dan bukan
             cicilan hutang.
                 Entah  kenapa ibu  berani pinjam uang kepada bang
             Kredit.  Bukankah bapak sudah wanti-wanti jangan pinjam
             uang di rentenir? Apa mungkin yang dimaksud bapak adalah
             Ibu Raji. Tetanggaku ini konon kabarnya seorang rentenir.
             Aku tidak tahu pasti.
                 “Lha terus saya dapat uang darimana bu?” suara kakakku
             terdengar lagi “Ibu jujur saja sama bapak.”
                 “Bapakmu pasti akan marah kepada ibu. Cobalah kamu
             minta tolong kepada teman kantormu!” Ibu  berusaha
             membujuk kakakku. Aku yakin kakakku pasti sedih. Kakakku
             baru ada sebulan  bekerja. Atas bantuan temannya kakakku
             diterima di salah  satu bank. Katanya  gajinya lumayan,  tapi
             kakakku kan baru masuk, gajian juga belum banyak.

                 “Baiklah, bu. Akan saya usahakan. Ibu harus janji, sekali
             ini saja ibu punya hutang tanpa sepengetahuan bapak. Aku
             kasihan sama bapak.”
                 “Iya iya. Ibu juga tidak berani lagi. Ibu sudah kapok.” Ada
             suara parau dalam kata-kata ibu. Ibu tadi pasti habis
             menangis. Aku tidak sempat  mendengar percakapan  kakak
             dan ibuku seutuhnya karena tadi ada pembeli yang datang di
             warung kami. Percakapan mereka selesai berbarengan aku
             selesai meladeni pembeli. Aku pura-pura tidak tahu apa yang
             terjadi. Kakakku terus pergi,  pamitnya mau ke rumah
             temannya. Ibu melanjutkan kesibukannya di dapur. Aku
             tercenung sendiri di depan warung.



             32 | Harini
   33   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43