Page 37 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 37
Selang kurang lebih setahun, gantian aku mendengar
percakapan ibu dan kakak perempuanku. Kali ini kulihat
kakakku agak sedikit menahan amarah. Kudengar dari
suaranya yang tertahan kakakku menahan tangis. Aku tidak
berani mendekat. Aku berada di ruangan sebelah dimana
kakak dan ibuku bercakap-cakap. Sayup-sayup aku
mendengar suara ibu agak mengiba.
“Kamu jangan bilang bapakmu ya,Tik!” Kalimat itu yang
tertangkap di telingaku. Ada apa dengan ibuku. Apa yang
ibuku sembunyikan dari bapak. Aku jadi bertanya-tanya, tapi
aku tidak ada niatan untuk mendekat. Aku tahu kalau
percakapan ini tidak ingin terdengar siapa-siapa. Waktu itu
hanya ada aku dan kakakku di rumah. Ibu menyuruhku
menjaga warung di depan. Tadi aku bermaksud mau
mengambil minum di belakang. Langkahku terhenti ketika
mendengar perbincangan kakak dengan ibu.
“ Lha trus berapa jadinya utang ibu?” suara kakakku lirih.
“Enam ratus ribu.” Aku mendengar suara ibu agak
tercekat. Aku sempat terkejut. Waktu itu uang enam ratus
ribu amatlah banyak bagi kami. Kenapa ibu bisa punya
hutang segitu banyak? Buat modal warung? Rasanya tidak
masuk akal. Perubahan warung kami tidak begitu
signifikan.Terus uangnya buat apa?
Pertanyaan itu terjawab. Ternyata ibu pinjam uang di
bang kredit keliling. Kupikir bang kredit itu hanya
menawarkan barang yang dijual secara kredit. Ibu biasa
membeli alat-alat dapur dan peralatan makan kepadanya.
Seperti juga para tetangga di kampung kami. Mereka
mengambil barang. Setiap hari bang Kredit itu datang dan
Dalam Bingkai Kesabaran | 31