Page 98 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 98
“Laaila ha ilallah” di telinga bapak. Setiap kali kuucapkan itu,
nafas bapak tenang lagi.
Tiba-tiba ibuku muncul di kamar. Tangis ibuku mulai
terdengar.” Besuk Haryono pulang, tunggulah ya...” Aku
kaget mendengar kata-kata ibu. Kalimat itu membuat nafas
bapak tersengal lagi.
“Ibu, ikhlaskan bapak. Biarkan saja besuk mas Haryono
juga akan pulang. Ibu tidak boleh berkata begitu.” Yu Darmi
mengajak ibu keluar dari kamar bapak. Kembali aku
mendekat ke telinga bapak. Ku bisikkan lagi kalimat “Laa
ilaha illallah Muhammadarrasulullah.” Dalam hati aku berbisik,
bapak...saya ikhlas. Bibirku ganti mengucap kalimat syahadat
berulangkali di telinga bapak. Tiba-tiba tangan bapak
bergerak perlahan, tangan bapak yang bersedekap merapat,
setelah itu diam. Detik berikutnya kepala bapak tergolek
kesebelah kanan. Aku mencium pipi bapak, dan berucap
innalillahi wainnailaihi raji’uun. Tiba-tiba hatiku terasa begitu
ringan. Aku berdiri dan melihat ke jarum jam. Pukul 16.25.
“Allahummafirlahu warhamhu wa’aafiihi wafu’anhu.” Semoga
bapak husnul khotimah.
Sesaat kemudian mbak Tati datang diikuti oleh seorang
dokter. Tetanggakupun pada berdatangan. Dokter
memeriksa bapak dan berkata,” Bapak sudah pergi untuk
selama-lamanya.”
Ku tatap raut wajah bapak yang mulai memucat. Saat aku
bisa mengantar bapak, membisikkan kalimat syahadat di
telinganya. Rasanya aku begitu ikhlas melepas. Selamat jalan,
bapakku. Kami akan mengirim doa untukmu. Selalu.
92 | Harini