Page 93 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 93

Selamat Jalan, Bapak




             D       iantara saudara-saudaraku, kata orang, aku yang

                     punya wajah mirip bapak. Waktu kecil aku  dekat
                     dengan bapak. Setelah masuk remaja baru aku mulai
             dekat dengan ibu.
                 Ketika kecil, kata orang, aku nakal. Kalau menangis pasti
             lama, bisa sampai satu jam. Kadang kalau nangisnya malam
             hari, karena bapak merasa jengkel, aku bisa dibawa keluar
             rumah dan dikunci dari dalam. Dengan cara itu aku baru mau
             berhenti menangis. Semua itu kudengar dari cerita
             tetanggaku. Aku sudah lupa peristiwa itu.
                 Tahun 1993 aku menjadi guru TPA di masjid. Seminggu
             tiga kali aku mengajar  anak-anak kampung pada sore hari.
             Aku bisa  mengamalkan ilmu agama yang dulu  pernah
             kuperoleh di sekolah. Walau tidak banyak ilmu agama yang
             kupunya. Bisa mengajarkan “a ba ta”  kepada anak-anak
             sudah membuatku merasa bahagia. TPA ini  dikelola oleh
             remaja masjid. Aku bukan satu-satunya guru TPA, masih ada
             teman-teman lain yang menjadi guru di sana.
                 Waktu  itu  bapak sudah  tidak bekerja karena tenaganya
             sudah tidak kuat lagi. Bapak punya banyak waktu di rumah.
             Setiap kali  pulang dari masjid, kuletakkkan  buku-bukuku di
             atas meja. Suatu kali kulihat bapak buka-buka buku tuntunan
             shalat. Aku hanya melihat sekilas. Bapak masih pemeluk Islam
             KTP waktu  itu. Ketika  adikku lewat didekat  bapak, adikku
             nyeletuk, ”Bapak belajar shalat, Pak. Biar sama agamanya



                                             Dalam Bingkai Kesabaran | 87
   88   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98