Page 87 - MENJADI GURU SEJAHTERA TANPA UTANG-
P. 87
bertanya tentang keponakannya, sekolah dimana, dan untuk
membayar iuran apa di sekolah.
Dia pernah bercerita memiliki keponakan dari adiknya
lima orang. Kelima‐limanya sekolah, mulai dari TK sampai
yang paling besar di SMK. Adiknya bekerja serabutan dan
suaminya penjual leker. Bersekolah di kotaku sebenarnya
enak sekali. Murid SD sampai SMP tidak membayar
sepeserpun karena sudah dibiayai dana BOS dan dana dari
pemerintah kota. Tetapi suatu kali dia pernah menceritakan
keponakannya ikut kursus menari di sebuah sanggar, dan dia
meminjam uang utuk membayarinya. Karena jumlahnya
hanya sedikit, akhirnya aku sanggupi biaya kursusnya.
Hasilnya bagaimana akupun tak pernah menanyakannya.
Waktu terus berjalan hingga suatu hari aku dapati
pekerjaan dia yang tidak seperti biasanya. Setrikaan tidak
rapi, cucian tidak bersih bahkan sering tidak masuk kerja.
Awalnya aku masih bisa berbaik sangka mungkin ada
pekerjaan sambilan yang biasa dia kerjakan di hari Minggu,
harus dia kerjakan lebih dulu karena dia anggap lebih penting
daripada pekerjaan rumahku. Tetapi lama‐lama kesabaranku
bisa juga terkikis, ada rasa jengkel, marah dan kurang nyaman
juga, karena sudah kutegur berulang‐ulang, tidak berubah
tetapi semakin parah.
Akhirnya di satu hari Minggu, ketika aku dan suami
mengagendakan untuk tidak keluar rumah, karena
bersamaan tidak ada undangan ke kondangan, rutinitas
pengajian dan silaturahmi ke bapak ibu sudah kami majukan
di malam Minggu, aku sempatkan bersih‐bersih sisi rumah
yang bersebelahan dengan tetangga sebelah. Mbak Sih,
Menjadi Guru Sejahtera Tanpa Utang (Bukan Mimpi) | 79