Page 13 - BUKU DUA - UPAYA MENYATUKAN KEMBALI REPUBLIK INDONESIA 1950-1960
P. 13
PEND AHUL U AN
mendesak kembali agar pemerintah untuk membubarkan dan kembali
ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tuntutan itu
akhirnya diakomidir oleh pemerintah. Pada tanggal 17 Agustus 1950,
bertepatan dengan p eringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-5,
mengumumkan pembubaran RIS tanpa berkonsultasi dengan pihak
Kerajaan Belanda.
Meskipun RIS telah dibubarkan, tidak berarti sistem
pemerintahannya juga ikut diganti. Pemerintahan Republik Indonesia
yang menggantikannya, ternyata masih tetap menggunakan sistem
parlementer dalam pemerintahannya. Hal ini tercermin antara lain
dari Undang-undang Dasar pengganti Undang-Undang Dasar RIS
yang dikenal dengan sebutan Undang-undang Dasar Sementara
(UUDS) Tahun 1950. Oleh karena itu kedudukan Presiden masih tetap
sama seperti pada masa RIS atau beberapa tahun sebelumnya, yaitu
sebagai kepala negara. Sedangkan kepala pemerintahan tetap berada
pada Parlemen dengan pelaksananya Perdana Menteri, dalam arti
harus mempertanggungjawabkan “mandat-nya” atau pelaksanaan
pemerintahannya kepada DPR/Parlemen.
Setelah Indonesia kembali ke bentuk NKRI, maka Republik
Meskipun RIS telah Indonesia sebagai Negara bagian juga bubar. Ir. Soekarno kembali
dibubarkan, tidak terpilih menjadi Presiden NKRI dengan kedudukan yang sama seperti
menjadi Presiden RIS yaitu sebagai kepala negara dan Mohammad
berarti sistem Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden. Sedangkan yang terpilih sebagai
pemerintahannya Perdana Menteri adalah Mohammad Natsir dari partai Masyumi.
juga ikut diganti. Perbedaannya yang cukup menonjol dari era RIS dengan NKRI dengan
sistem liberal adalah dalam sistem parlemennya itu. Walaupun sama-
sama menggunakan sistem parlementer, tapi dalam parlemennya tidak
lagi ada “Senat”, karena tidak ada lagi negara bagian.
Dengan bubarnya RIS tidak berarti semua yang terkait dengan
RIS secara otomatis ikut bubar atau berakhir. Salah satunya adalah
utang RIS kepada Belanda. Utang itu tetap berjalan alias harus
dibayar oleh Republik Indonesia, sekaligus menjadi salah satu agenda
kerja Kabinet Natsir. Walaupun nanti ada upaya untuk membatalkan
kewajiban itu, namun pembatalan itu baru terjadi setelah hampir semua
utangnya terbayar. Inilah salah satu fakta sejarah bangsa Indonesia
yang mengenaskan untuk dikenang, seperti disampaikan oleh Sumitro
Djojohadikusumo dalam bukunya, “Professor Sumitro Mengenang
Masa Lalu”. 5
5 Sumitro Djojohadikusumo, 1987. Profesor Sumitro Mengenang Masa Lalu. Jakarta: hal. 15.
SEJARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 5
REPUBLIK INDONESIA 1918 – 2018
02 B BUKU 100 DPR BAB 1 CETAK.indd 5 11/17/19 6:55 AM