Page 203 - BUKU DUA - UPAYA MENYATUKAN KEMBALI REPUBLIK INDONESIA 1950-1960
P. 203
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Hamengku Buwono IX, tanda-tanda kejatuhan pemerintahan Kabinet
Wilopo semakin terlihat dengan jelas.
Sultan Hamengku Buwono IX, yang merupakan Manteri
Pertahanan pada kabinet Wilopo, memiliki hubungan khusus dengan
kelompok-kelompok profesional dalam jajaran TNI-AD seperti A.H.
Nasution dan T.B. Simatupang serta sebagian besar pendukung
terdekat mereka yang berasal dari kelompok non-partai seperti Sjahrir
dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Meskipun demikian, Nasution lebih
memiliki kedekatan dengan kelompok militer dibandingkan dengan
kelompok sipil lainnya. Beberapa nama tersebut menginisasi rencana
sentralisasi dan demobilisasi untuk mengurangi jumlah angkatan
perang mencapai 50% dari jumlah total. Usulan tersebut menjadi
bahan perdebatan kelompok pusat dengan para panglima tentara
di daerah, yang umumnya mengakui dan memiliki simpati terhadap
Sukarno dan PNI. Kritik terhadap rencana tersebut kemudian beralih
menjadi rumor yang menyatakan bahwa PSI berencana mengurangi
jumlah angkatan perang hingga menjadi suatu organisasi yang hanya
Kritik terhadap setia kepadanya dan kemudian menggunakannya untuk melancarkan
rencana tersebut suatu percobaan kudeta. 202
Pada pagi hari 17 Oktober sebuah demonstrasi mengejutkan
kemudian beralih dimulai di jalan-jalan di Jakarta. Sekelompok orang yang mungkin
menjadi rumor terdiri dari 5.000 pria, dari berbagai kota dan negara, masuk ke
yang menyatakan gedung parlemen, dan menyerukan “Parlemen bukan Kedai Kopi”
bahwa PSI berencana serta menghancurkan kafetaria. Dari sana mereka bergerak di sekitar
mengurangi jumlah kota, memajang spanduk-spanduk yang dilukis dengan baik yang
menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilihan
angkatan perang umum. Setelah beberapa insiden kecil di mana beberapa bendera
hingga menjadi suatu Belanda keluar dari tiang-tiang mereka, kerumunan sejumlah 30,000
organisasi yang hanya orang berdemonstrasi di depan rumah Presiden. Dalam pidato yang
setia kepadanya luar biasa dari langkah-langkahnya, Presiden Sukarno memarahi
dan menenangkan mereka. Presiden Sukarno menyatakan dengan
dan kemudian tegas bahwa akan ada pemilu sesegera mungkin. Tetapi sementara
menggunakannya itu, ia berujar bahwa ia tidak bisa membubarkan parlemen seperti
untuk melancarkan itu, dan apabila rakyat meminta presiden untuk melakukannya
suatu percobaan adalah memintanya menjadi seorang diktator. Hal ini memberikan
konsekuensi akan hal yang sia-sia dari apa yang telah diperjuang
kudeta. sejak dulu. Presiden Sukarno mengirim para demonstran ke rumah
setelah mereka bersorak dan pergi. Pada titik ini, Presiden Sukarno
202 Merle Calvin Ricklefs, (2008), op. cit., h. 510.
dpr.go.id 202
02 B BUKU 100 DPR BAB 4 CETAK.indd 202 11/19/19 10:48 AM