Page 401 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 401

MENIMBANG   BAB XVIII
                                                                         SEJARAH




                      Satu-satunya persamaan yang dijadikan benang merah oleh tulisan
                 di Tirto, misalnya, hanyalah kondisi sama-sama “menghilang”. Ini sebuah
                 pembandingan  bodoh,  cacat  secara  metodik,  dan  tendensius.  Apalagi,
                 dalam artikel di Tirto secara jelas ditulis, “Ayahanda Prabowo Subianto,
                 Sumitro Djojohadikusumo, juga pernah kena tuduhan terlibat korupsi.”
                      Jika ingin menulis  feature sejarah, kenapa tak membandingkan
                 hilangnya tersangka korupsi hari ini dengan hilangnya Eddy Tansil di masa
                 lalu, misalnya?! Atau, penulis bisa juga membandingkannya dengan hilang
                 dan buronnya sejumlah tersangka dan terpidana kasus Skandal BLBI. Itu
                 akan lebih masuk akal.
                      Kedua, dua artikel tadi sama-sama mengulang tuduhan dalam bentuk
                 “dugaan korupsi yang dilakukan Sumitro”. Masalahnya adalah tuduhan itu
                 terjadi  pada  dekade  1950-an,  tepatnya  pada  1957.  Sesudah  enam  puluh
                 tahun lewat, semua tuduhan tadi sebenarnya telah selesai dijawab oleh
                 berbagai catatan sejarah. Tetapi, dua artikel di Tirto dan Historia tersebut,
                 secara jahat telah memenggal konteks dan narasi sejarah cerita tadi hanya
                 di fase awal munculnya tuduhan terhadap Sumitro tersebut, sembari
                 mengabaikan duduk perkaranya secara lengkap, baik sesuai fakta-fakta
                 yang berkembang pada saat kejadian itu sendiri berlangsung, maupun dari
                 fakta-fakta yang baru terbuka pada masa lebih kemudian.

                      Jika  kita  baca  berbagai  buku  sejarah,  tuduhan  korupsi  terhadap
                 Sumitro tadi sebenarnya hanya berasal dari tuduhan yang dilontarkan
                 koran-koran komunis, seperti  Harian Rakjat dan  Bintang Timur, dua
                 koran propaganda PKI yang sadis. Tapi dugaan itu tak pernah terbukti.
                 Kesaksian mengenai hal itu bisa kita baca dari banyak buku. Biografi
                 Sumitro Djojohadikusumo sendiri, Jejak Perlawanan Pejuang (2000), yang
                 juga dikutip oleh dua artikel di Tirto dan Historia, sudah merangkumkan
                 kesaksian tersebut.
                      Baca juga misalnya buku Lari, Sebuah Catatan Perjuangan, Pelarian
                 dan Keimanan: Dari Permesta—Orde Baru Soeharto (2011), yang ditulis Jopie
                 Lasut, salah satu gerilyawan Permesta. Dalam bukunya Jopie menulis sebuah
                 kesaksian penting. Pada awal 1957 (yang dimaksud sepertinya Mei 1957—
                 FZ), demikian tulis Jopie, Priyatna Abdurrasyid—yang belakangan menjadi
                 Jaksa Agung—mendatangi rumah Sumitro di Jalan Sisingamangaraja,




                                                                  CATATAN-CATATAN KRITIS  421
                                                                         DARI SENAYAN
   396   397   398   399   400   401   402   403   404   405   406