Page 24 - BUKU TIGA - WAJAH BARU PARLEMEN INDONESIA 1959-1966
P. 24

SEABAD RAKYAT INDONESIA
                 BERPARLEMEN



                                                  melahirkan irisan-irisan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
                                                  ketumpangtindihan narasi sejarah dalam masa transisi antarperiode.
                                                  Asumsinya tentu bagian akhir buku sebelumnya lebih mengutamakan
                                                  sumber-sumber yang berasal dari internal DPR.
                                                       Dengan demikian, kesengajaan pengutamaan sumber media
                                                  massa untuk melihat latar belakang sejarah perkembangan DPR yang
                                                  menjadi awal bahasan bab ke-2 buku ini dimaksudkan agar celah-
                                                  celah yang belum dinarasikan dari buku sebelumnya, setidaknya dapat
                                                  dibantu dikemukakan dalam bagian berikutnya.
                                                       Batasan waktu narasi utama dalam bab ke-2 bisa ditarik saat
                                                  Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikumandangkan Presiden Soekarno,
                                                  yang membuat DPR dengan gaya parlementer berubah wajah.
                                                  Terbangunnya rezitimasi Soekarno yang dilegalisasi melalui dekrit
                                                  presiden berpengaruh terhadap independensi DPR dari pengaruh
                                                  lembaga kepresidenan. DPR sebagai lembaga legislatif terlihat menjadi
                                                  sulit berdaya di hadapan eksekutif. Bahkan, pada saat DPR mencoba
                                                  memperlihatkan “taringnya” dengan berani menolak anggaran belanja
                                                  negara yang diajukan pemerintah pada tahun 1960, justru di titik
                                                  inilah episode terakhir dari kiprah DPR “warisan” era parlementer.
                                                  DPR dibubarkan Presiden, yang kemudian dibentuk DPR “baru”: DPR
                                                  Gotong Royong (DPR-GR).
                                                       Ekses dari pembubaran ini, bukan tanpa perlawanan. Liga
                                                  Demokrasi dibentuk oleh mereka yang tidak atau kurang menyetujui
                                                  pembubaran DPR. Sikap para politisi partai pun terbelah. Dalam hal
                                                  ini, bukan saja para politisi yang menunjukkan sikap pro-kontra,
                                                  Mohammad Hatta pun bereaksi hingga menulis “Demokrasi Kita”.
                            Ekses dari
                                                       Akan tetapi, bagaimanapun kondisinya, DPR-GR tetap dibentuk.
                        pembubaran                Inilah dewan legislatif “baru” Indonesia, yang meskipun landasan
                    ini, bukan tanpa              konstitusionalnya telah diletakkan sejak negara Indonesia lahir,

                   perlawanan. Liga               namun DPR berdasarkan UUD 1945 ini baru kembali hadir setelah era
                                                  parlementer berakhir. Ironisnya, eksistensi DPR yang kembali lahir ini
               Demokrasi dibentuk
                                                  justru terlihat redup di hadapan kuasa eksekutif. Tugas dan wewenang
                         oleh mereka              DPR sebagaimana tercantum secara legal konstitusional di dalam UUD
                     yang tidak atau              1945 justru ditampilkan dalam rupa tugas dan wewenang yang baru

                kurang menyetujui                 pula dalam realita: tidak semestinya.
                 pembubaran DPR.










                                     dpr.go.id   18
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29