Page 193 - BUKU SEABAD RAKYAT INDONESIA BERPARLEMEN
P. 193
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Masyumi sebagai partai Islam secara tegas me-
nolak kehadiran PKI dalam struktur kabinet. Pe-
nolakan ini tentu berlawanan dengan keinginan
Masyumi sebagai partai Soekarno, yang berusaha menyatukan berbagai
Islam secara tegas elemen bangsa, yaitu nasionalis, agamis, dan
komunis, sebagai kekuatan elemen bangsa un-
menolak kehadiran PKI tuk melanjutkan revolusi yang belum selesai.
dalam struktur kabinet. Kasus penolakan dan pelarangan wakil-wakil
Penolakan ini tentu Masyumi untuk ikut serta dalam kabinet pernah
berlawanan dengan juga dilakukan oleh Masyumi dan PSI dalam
Kabinet Djuanda (8 April 1957). Mereka secara
keinginan Soekarno, tegas menginginkan Masyumi menjalankan
yang berusaha kebijakan politik non-akomodatif kepada
pemerintah. Memang ada dua tokoh Masyumi
menyatukan berbagai yang ikut serta dalam Kabinet Djuanda, yaitu
elemen bangsa, yaitu Pangeran Noor sebagai Menteri Pekerjaan
Umum, yang akhirnya dikeluarkan sebagai
nasionalis, agamis, anggota Masyumi. Lalu Mulyadi Joyomartono
dan komunis, sebagai sebagai Menteri Sosial, yang atas inisiatif
sendiri keluar dari Partai Masyumi. Sikap
kekuatan elemen bangsa non-kooperatif Masyumi ini diambil sebagai
untuk melanjutkan kebijakan resmi partai. Menurut M. Natsir, itu
semata-mata hanya ingin mengoreksi Presiden
revolusi yang belum Soekarno yang makin bersikap otoriter dan
selesai. mendukung bangkitnya komunisme dengan
mengakomodasi ideologi tersebut.
Dalam perkembangannya, konflik Partai Masyumi
dan PSI dengan Presiden Soekarno makin tajam
ketika terjadi peristiwa PRRI-Permesta. Beberapa
tokoh mereka terlibat dalam peristiwa tersebut,
yang oleh Soekarno dilabeli sebagai para pemberontak melawan
pemerintah pusat. Mereka antara lain Burhanuddin Harahap, Mohammad
Natsir, dan Syafruddin Prawiranegara (Masyumi), serta St. Mohd. Rasyid
dan Sumitro Djojohadikusumo (PSI). Mereka secara bersama-sama
dengan Dewan Banteng dan beberapa panglima militer dari daerah lain,
adalah Dewan Perjuangan, ditandai dengan memproklamasikan PRRI
(15 Februari 1958).
Upaya-upaya penyelesaian sebetulnya telah dilakukan oleh M.
Hatta sebagai penghubung yang memfasilitasi pertemuan dengan
186