Page 22 - Stabilitas Edisi 218 Tahun 2025
P. 22
berlomba menaikkan bunga deposito tengah ketidakpastian global, pemberi
hingga 6,5–7 persen, terutama untuk pinjaman digital mungkin menghadapi
dana jumbo. Bagi bank digital yang masih kendala terkait seberapa leluasa mereka
bergantung pada tabungan ritel dengan dapat mengalokasikan modal ke aset
suku bunga lebih tinggi, margin bunga dengan imbal hasil lebih tinggi.
bersih (NIM) pun tertekan. Direktur Utama Bank Jago, Arief
Ekonom dari Celios, Bhima Rachmat, mengakui bahwa dinamika
Yudhistira, menilai tekanan ini akan kualitas aset di sektor digital kini
semakin kuat menjelang akhir tahun. menuntut kehati-hatian baru. “Kami
“Funding cost bank digital berpotensi melakukan pemantauan berbasis data
naik 50–70 basis poin tahun ini. Kalau real time dan memperkuat machine
tidak diimbangi dengan efisiensi learning untuk mendeteksi perilaku
biaya dan diversifikasi pendapatan, nasabah berisiko. Tapi tetap saja, saat
mereka bisa kehilangan momentum ekonomi melemah, probabilitas gagal
profitabilitas,” ujarnya. bayar meningkat,” ujarnya.
Data publikasi OJK mencatat, biaya Sementara itu, Chief Risk Officer
dana (cost of fund) bank digital pada Bank Neo Commerce, Wahyu Setiawan,
paruh pertama 2025 berada di kisaran menyebutkan strategi penanganan
5,2–6,1persen, lebih tinggi dibanding kredit kini lebih preventif. “Kami tidak
bank konvensional besar yang hanya menunggu kredit macet, tapi memantau
3,5–4 persen. Kondisi ini membuat ruang sejak dini. Kalau TWP30 sudah naik,
Juda Agung, Deputi Gubernur BI margin semakin sempit, apalagi ketika kami langsung melakukan restrukturisasi
ekspansi kredit harus terus dijaga agar mikro berbasis perilaku,” katanya.
tetap tumbuh. OJK juga mencermati tren ini.
Bank digital harus muncul sebagai tantangan serius. Meski Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan
Di sisi lain, risiko kredit mulai
OJK Dian Ediana Rae menegaskan
mampu menjaga industri perbankan secara agregat bahwa bank digital perlu memperkuat
keseimbangan mencatat rasio kredit bermasalah (NPL) manajemen risiko. “Kredit digital
berisiko tinggi karena basis datanya
gross sebesar 2,18 persen pada Agustus
maturitas dan 2025, beberapa bank digital menghadapi sering kali belum matang. Kami dorong
diversifikasi sumber tekanan lebih besar di segmen kredit mereka memiliki governance yang setara
pendanaan. Jika mikro dan konsumtif. dengan bank umum,” ujarnya
Segmen ini, yang selama pandemi
Selain faktor likuiditas dan
terlalu bergantung menjadi motor pertumbuhan, kini mulai kredit, tekanan juga datang dari arah
pada tabungan ritel menunjukkan gejala peningkatan TWP90 regulasi. OJK dan Bank Indonesia kini
memperketat pengawasan terhadap
(tunggakan di atas 90 hari).
yang fluktuatif, Selain itu, ancaman mismatch juga model bisnis bank digital, termasuk tata
stabilitas bisa menjadi kekhawatiran tersendiri. Banyak kelola data, manajemen likuiditas, hingga
kecukupan modal inti.
bank digital mengandalkan simpanan
terganggu. jangka pendek untuk mendanai Melalui POJK No.12/2021, OJK
pinjaman konsumen atau usaha mikro mewajibkan bank digital memiliki
dengan tenor lebih panjang. Masalah modal inti minimal Rp10 triliun,
lainnya adalah tata kelola data: dengan serta menunjukkan model bisnis
semakin banyaknya data keuangan yang yang berkelanjutan dan tidak semata
dibagikan di berbagai ekosistem (dari mengandalkan subsidi investor.
e-commerce hingga transportasi online), “Era bakar uang sudah selesai.
regulator memperketat standar privasi Regulator ingin memastikan bank
dan keamanan siber, yang meningkatkan digital tidak hanya survive karena modal
biaya kepatuhan bagi pelaku usaha kecil. ventura. Mereka harus menunjukkan
Lalu ada momok pengendalian modal. kemampuan menghasilkan laba dari
Seiring pemerintah mendorong bank operasional yang sehat” kata Ekonom
untuk memiliki aset yang lebih likuid di Senior LPEM UI, Fithra Faisal Hastiadi.
22 Edisi 218 / 2025 / Th.XXI www.stabilitas.id

