Page 109 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 109
Trubus Rahardiansah: Konflik Laten di Bidang Kebijakan Pertanahan 101
Banyaknya kasus pertanahan berupa sengketa dan konflik pertanahan berpotensi ter-
hadap timbulnya gejolak/ kerawanan sosial. Sengketa dan konflik pertanahan, sebagian
diantaranya berasal dari masa lalu, tidak dapat dipungkiri dapat menjadi penghambat
dalam program pembangunan secara umum, dan merupakan hambatan dalampemenuhan
akses keadilan terhadap sumber–sumber ekonomimasyarakat khususnya.
Bila dikaji secara mendalam, sebenarnya kasus sengketa pertanahan merupakan ben-
turan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa,
sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan
hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Dalam konteks kepastian
hukum, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),
maka terhadap kasus sengketa pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan res-
pons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).
Menarik untuk dikaji, dalam kasus sengketa tanah di Desa Wanasari, Wanakerta, dan
Margamulya, di Teluk Jambe Karawang menunjukkan bahwa penyelesaian konflik perta-
nahan memerlukan proses yang rumit karena kasusnya sudah berjalan cukup lama, yaitu
sejak tahun 1974 hingga sekarang. Sengketa tanah antara petani Telukjambe dan perusa-
haan swasta, PT Pertiwi Lestari, berakar kepada saling klaim kepemilikan tanah. Sejumlah
petani Telukjambe telah menggarap di lahan sengketa sejak tahun 1962, akan tetapi PT
Pertiwi Lestari mengklaimnya pada tahun 2012. Tanah yang bersengketa itu dikatakan
Maman memiliki luas 791 hektare. Dampak dari konflik yang berlarut-larut itu adalah terce-
rabutnya para petani dari tanah yang selama ini didiaminya. Perusahaan juga telah mero-
bohkan rumah dan membabat lahan pertanian. Ada sekitar 600 sampai 800 petani yang
sebelumnya mendiami tanah sengketa itu.
Kasus tersebut menarik perhatian untuk ditelaah, karena: Pertama, penyelesaian
sengketa ini sulit dituntaskan, karena berlarut-larut dan berdampak pada kerugian baik
pada masyarakat setempat, maupun pada legitimasi hukum yang tidak dihargai oleh pihak
yang memiliki kepentingan terhadap kasus ini. Kedua, keputusan hukum yang seharusnya
dihormati oleh semua kalangan, dalam kasus ini seperti dipermainkan dan berusaha untuk
tidak di indahkan. Ketiga, adanya perlawanan yang dilakukan oleh kelompok tertentu
dengan melakukan mobilisasi masa saat eksekusi lahan yang sudah dimenangkan oleh salah
satu perusahaan swasta. Sampai saat ini perlawanan masih terus dilakukan, dengan menja-
dikan masyarakat sebagai tameng dan korporasi berusaha juga membenturkan masyarakat
antara dengan aparat Negara (TNI/Polri).
Status kepemilikian tanah di Teluk Jambe memang sangat kontoversial, dimana antara
masyarakat dan korporasi saling memegang klaim kepemilikan yang sah. Putusan penga-
dilan yang memengkan korporasi telah berkali-kali ditolak oleh masyarakat. Sedangkan
pihak korporasi telah melakukan berbagai upaya untuk menguasai tanah tersebut yang
dibantu oleh aparat keamanan (TNI/Polri). Namun berbagai upaya yang telah dilakukan