Page 112 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 112
104 Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya
Sengketa kepemilikan tanah berawal dari sekitar tahun 1974, Kepala Desa yang ada
disekitar Telukjambe memberitahukan kepada masyarakat pemegang Girik, bahwa tanah-
nya akan disewa oleh PT. Dasa Bagja (PT. DB) dari Jakarta. Tanah itu akan digunakan untuk
penghijauan berupa penanaman Kapuk dan sebagainya. Lalu masyarakat memberikan
garapan seluas 582 ha dengan bentuk sewa selama tiga tahun sejak 1974 sampai 1977 dengan
nilai sewa Rp. 1,- per meter.
Pada tahun 1974 PT. DB mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) untuk tanaman Kapuk
kepada Menteri Dalam Negeri cq. Dirjen Agraria atas tanah seluas 582 ha yang terletak di
Desa Sirnabaya, Desa Wanakerta dan Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe, Kabupa-
ten Karawang, namun permohonan tersebut belum pernah mendapatkan persetujuan dari
instansi atau pejabat yang berwenang, baik Menteri Dalam Negeri maupun Dirjen Agraria.
Termasuk pada tahun 1975, pihak PT. DB sempat pula mengajukan permohonan HGU
kepada Kantor Wilayah Agraria Jawa Barat, namun tetap tidak pernah dikabulkan.
Karena masa sewa tanah PT. DB kepada masyarakat pada tahun 1977 habis masa sewa-
nya, lalu masyarakat menanyakan girik-girik mereka kepada Kepala Desa setempat, namun
Kepala Desa tidak memberikan girik-girik tersebut dan hanya menyatakan kepada masyara-
kat bahwa girik-girik mereka akan diurus. Sambil menanti pengurusan girik-girik itu,
masyarakat dihimbau untuk kembali mengurus, menempati, dan menggarap tanah-tanah
mereka. Sampai saat ini, girik-girik tersebut belum juga didapat oleh masyarakat. Dengan
berbekal data dari Buku C yang ada di desa, maka masyarakat pun terus menggarap tanah-
nya termasuk membayar pajak atas tanah yang digarapnya kepada negara sebagai bentuk
tanah hak milik mereka.
Namun secara mendadak pada tahun 1986 tanpa sepengetahuan masyarakat, PT DB
mengambil alih tanah sewaan tersebut kepada PT. Makmur Jaya Utama (PT. MJU), padahal
tanah tersebut sudah habis masa sewa dan HGU atas tanah tersebut belum pernah dika-
bulkan oleh pemerintah.
negara (TUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata
belum tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana).
3
faktor- faktor non hukum antara lain: 1) Tumpang tindih penggunaan tanah. Sejalan dengan waktu,
pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi
pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian yang beralih fungsi. Tidak dapat
dihindarkan bahwa dalam sebidang tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda. 2) Nilai
ekonomis tanah tinggi. 3) Kesadaran masyarakat meningkat. Adanya perkembangan global serta pening-
katan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran masya-
rakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakatpun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pem-
bangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi
menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk
investasi atau komoditas ekonomi. 6) Tanah tetap, penduduk bertambah. Pertumbuhan penduduk yang
sangat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap,
menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah
dipertahankan sekuatnya. 4) Kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu
faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses
masyarakat miskin.