Page 115 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 115
Trubus Rahardiansah: Konflik Laten di Bidang Kebijakan Pertanahan 107
Krw), tanah milik Nani Binti Tarmudin yang kemudian PT. SAMP dapat dikalahkan
(Putusan PK No. 316 PK/PDT/2007), tanah milik Agus Sugito juga PT. SAMP kalah (Perkara
PK No. 499/PK/Pdt/2005), Tanah Milik Saikam Bin Denim (Sertifikat No. 100), Karda Bin
Denin (Sertifikat No. 99), dan masih banyak pemilik sertifikat lainnya. Sehingga, Putusan
Mahkamah Agung ini tidak bisa dieksekusi, sebab di atas tanah yang diputuskan itu
terdapat juga putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang
memenangkan masyarakat secara perseorangan.
Melihat fakta-fakta yang terjadi, maka terindikasi kuat, ada kesalahan di pengadilan
dalam memproses kasus ini. Kesalahan ini terjadi karena pengadilan mengabaikan kepe-
milikan tanah masyarakat perorangan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap termasuk
pemilik sertifikat. Kesalahan yang lebih fatal pengadilan adalah dalam proses pemeriksaan-
nya tidak sesuai dengan hukum acara, yaitu melakukan pengabaian tata cara pemeriksaan
menurut tata hukum perdata (burgerlijke rechsorde), dengan cara mengabaikan kebenaran
formil berupa putusan pengadilan dan kepemilikan sertifikat.
Sementara itu dalam perkembangannya, PT Pertiwi Lestari mengklaim telah memiliki
lahan di wilayah Telukjambe Barat seluas sekitar 791 hektare. Klaim kepemilikan lahan itu
didasarkan atas sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan Kantor Pertanahan
Karawang tahun 1998, yakni sertifikat HGB Nomor 5/Margamulya, sertifikat HGB Nomor
11/Wanajaya dan sertifikat HGB Nomor 30/Wanajaya.
C. Penegakan Hukum, Penolakan Masyarakat, dan Alternatif Penyelesaiannya
Konflik pertanahan di Teluk Jambe Karawang telah membawa korban masyarakat
pemilik tanah karena penegakan hukum yang lemah. Negara sebagai pemegang kendali
produk hukum dan penegakannya telah menempatkan masyarakat sebagai korban.
Masyarakat menolak untuk menyerahkan tanahnya kepada korporasi sebagai pemilik
modal.
Misalnya, salah satu alat bukti yang dibeberkan PT. SAMP di pengadilan adalah peta
yang menyatakan bahwa tanah seluas 350 ha adalah tanah yang dimilikinya. PT. SAMP
berpendapat, peta tersebut sah karena dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Pertanahan
Provinsi Jawa Barat tertanggal 20 September 2005. Dalam peta itu seakan-akan tanah
kosong karena sudah dibebaskan oleh PT. SAMP. Sementara ada peta lain yang dikeluarkan
oleh Kantor Wilayah Pertanahan Provinsi Jawa Barat pada tanggal yang sama yaitu 20
September 2005, peta ini diberikan kepada masyarakat. Dalam peta ini terdapat gambar
rincikan bidang-bidang sesuai dengan pemilik tanah. Fakta ini menunjukan ada ketidak
benaran dalam salah satu peta diantara kedua peta tersebut.
Untuk membuktikan kebenaran peta mana yang sah dan peta mana yang terindikasi
palsu, maka kemudian ditelusuri secara historis keluarnya peta ukur atau gambar tersebut
berdasarkan fakta-fakta, kejadian, dan informasi dari masyarakat. Yaitu, pada 28 Maret