Page 117 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 117

Trubus Rahardiansah: Konflik Laten di Bidang Kebijakan Pertanahan     109


             oleh masyarakat tidak memuaskan. Masyarakat yang telah menduduki tanah selama berta-
             hun-tahun ditolak gugatannya untuk mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena
             adanya  pihak  lain  yang  menguasai  tanah  yang  bersangkutan.  Atau  sebaliknya  gugatan
             seseorang terhadap penguasaan tanah tertentu sebagain dikabulkan pengadilan walaupun

             bagi pihak yang menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan.
                  Dalam kasus tanah Teluk Jambe, konflik pertanahan diselesaikan melalui Pengadilan
             Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun putusan pengadilan tersebut, banyak

             yang  diselesaikan  dengan  hasil  yang  kurang  memuaskan,  sehingga  berkembanglah  pan-
             dangan di masyarakat bahwa badan peradilan tidak optimal dalam menyelesaikan sengketa
             pertanahan.  Akibatnya,  rasa  keadilan  dan  kepastian  hukum  yang  diharapkan  masyarakat
             tersebut tidak terpenuhi, bahkan yang ada hanyalah persoalan baru yang dampaknya justru

             memperburuk kondisi yang ada.
                  Selain  melalui  jalur  pengadilan,  mungkin  pola-pola  penyelesaian  konflik  pertanahan
             Teluk  Jambe  di  luar  pengadilan  yang  perlu  dilakukan.  Misalnya,  negosiasi,  musyawarah
             mufakat dan mediasi. Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik

             duduk  bersama  untuk  mencari  jalan  terbaik  dalam  penyelesaian  konflik  dengan  prinsip
             bahwa  penyelesaian  itu  tidak  ada  pihak  yang  dirugikan  (win-win  solution),  kedua  pihak
             tidak  ada  yang  merasa  dirugikan.  Musyawarah  mufakat  adalah  lengkah  lebih  lanjut  dari

             negosiasi.  Jika  dalam  negosiasi  tidak  terdapat  kesepakatan  yang  saling  menguntungkan,
             maka  langkah  lebih  lanjut  adalah  melakukan  musyawarah  mufakat  dengan  melibatkan
             pihak  lain  selaku  penengah.  Hasil  musyawarah  tersebut  selanjutnya  dibuatkan  surat
             kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi.

                  Di  samping  itu  pola  mediasi  merupakan  pengendalian  konflik  pertanahan  di  Teluk-
             jambe  yang  dapat  dilakukan  dengan  cara  membuat  konsensus  diantara  dua  pihak  yang
             berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
             penyelesaian konflik. Hal ini karena penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisio-

             nal ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai
             kelebihan  bila  dibandingkan  dengan  berperkara  di  muka  pengadilan  yang  tidak  menarik
             dilihat dari segi waktu, biaya dan pikiran/tenaga. Disamping itu dapat dimanfaatkan untuk

             membatasi  kurangnya  kepercayaan  masyarakat  Telukjambe  atas  kemandirian  lembaga
             peradilan dan kendala administrasi yang meliputinya, sehingga jalur pengadilan merupakan
             pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa di Telukjambe.


             D. Kesimpulan dan Saran
             1.  Kesimpulan
                  Kasus konflik pertanahan di Telukjambe yang bersifat laten memang perlu kebijakan

             pemberintah yang kuat. Dalam konteks konflik kebijakan pertanahan memang seringkali
             menempatkan  Negara  dalam  posisi  yang  kuat  sedangkan  masyarakat  dalam  posisi  yang
   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122