Page 122 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 122

114    Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya



             terutama mengenai tanah pertanian yakni Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria,
             setiap  orang  dan  badan  hukum  yang  mempunyai  sesuatu  hak  atas  tanah  pertanian  pada
             asasnya  diwajibkan  mengerjakan  atau  mengusahakannya  sendiri  secara  aktif,  dengan
             mencegah cara-cara pemerasan. Supaya asas tersebut dapat terwujud, tentunya diperlukan

             dukungan dari berbagai unsur.
                  Negara berkembang mempunyai ciri umum yaitu masalah kelebihan penduduk agraris
             yaitu  terdapatnya  surplus  tenaga  kerja  manusia  dibanding  tersedianya  tanah  pertanian.

             Akibat  ketiadaan  pilihan  kesempatan  kerja  lain,  maka  penduduk  desa  terus-menerus
             memadati  tanah  yang  ada,  menawarkan  investasi  tenaga  kerja  dalam  proes  produksi
             pertanian  melebihi  titik  efisiensi  optimum,  sehingga  menghambat  keseluruhan    usaha
             pembangunan ekonomi. Di pedesaan masih banyak kita jumpai orang yang mengerjakan

             tanah yang bukan miliknya, misalnya secara sewa, berbagi hasil, gadai, dan lain sebagainya.
                  Praktek mengerjakan tanah yang bukan miliknya tersebut terdapat pengaturannya di
             dalam Pasal 53 UUPA berupa hak-hak yang sifatnya sementara, antara lain hak gadai, hak
             usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi

             sifat-sifatnya  yang  bertentangan  dengan  Undang-Undang  Pokok  Agraria  dan  hak-hak
             tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Dapat dikatakan bahwa hak-hak
             atas  tanah  yang  sifatnya  sementara  tersebut  bertentangan  dengan  Pasal  7  dan  Pasal  10

             Undang-Undang Pokok Agraria, karena mengandung unsur pemerasan, mengandung sifat
             feodal, dan bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria.
                  Hak yang sifatnya sementara tersebut, termasuk perjanjian bagi hasil tanah pertanian
             merupakan  perbuatan  hukum  yang  diatur  oleh  hukum  adat.  Perjanjian  bagi  hasil  ini

             mempunyai  pengertian  sebagai  suatu  bentuk  perjanjian  antara  seorang  yang  berhak  atas
             suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian
             mana  penggarap  diperkenankan  mengusahakan  tanah  yang  bersangkutan  dengan
             pembagian  hasilnya  antara  penggarap  dan  yang  berhak  atas  tanah  tersebut  menurut

                                                     1
             imbangan yang telah disetujui bersama.
                  Perjanjian bagi hasil ini merupakan bagian dari transaksi yang berkaitan dengan tanah.
             Transaksi  yang  berkaitan  dengan  tanah  dimaksudkan  semua  transaksi  atau  perjanjian  di

             mana bukan tanah yang menjadi obyek perjanjian atau transaksi melainkan tanah sebagai
             sesuatu yang terlihat dalam perjanjian atau transaksi itu. Jadi pemilik tanah atau pemegang
             hak atas tanah memberi kesempatan kepada orang lain untuk bekerja, menanam, memungut
                                                                                        2
             hasil, menikmati tanah atau sebagai benda jaminan atas peminjaman uang.
                  Perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil semula diatur di dalam Hukum Adat
             yang  didasarkan  pada  kesepakatan  antara  pemilik  tanah  dan  petani  penggarap  dengan


                1  Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi
             Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, halaman 118.
                2   Sri  Sudaryatmi  dan  Sukirno,  Beberapa  Aspek  Hukum  Adat,  Universitas  Diponegoro  Semarang,
             Semarang, 2013, halaman 71.
   117   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127