Page 126 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 126
118 Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya
pemilik tanah akan memperoleh bagian hasil yang lebih besar dari pada penggarap ketentuan
bagi hasilnya sebagai berikut:
a. Pemilik tanah dan penggarap mendapat bagian yang sama besar disebut ”maro”.
b. b.Pemilik tanah mendapat 2/3 bagian dari hasil panen, sedang penggarap
memperoleh 1/3 bagian, yang disebut dengan “mertelu”.
c. Pemilik tanah memperoleh 2/5 bagian, dari hasil panen, sedangkan penggarap
memperoleh 1/3 bagian, dengan ketentuan bahwa yang menyediakan bibit pupuk dan
obat-obatan, serta mengolah tanahnya menjadi kewajiban penggarap. Perjanjian bagi
hasil ini dikenal dengan sebutan “merlima”.
Dengan adanya perjanjian bagi hasil yang diatur dalam hukum adat tersebut, selain
karena pembagiannya sesuai dengan kesepakatan, turun temurun sesuai dengan kebiasaan
daerah setempat, serta dilaksanakan secara tidak tertulis, maka hal-hal tersebut dapat
memungkinkan timbulnya unsur pemerasan oleh pemilik tanah terhadap pihak yang
mengusahakan tanahnya atau sebaliknya.
Untuk mencegah “freefight” dan cara-cara pemerasan hak penguasa akan memberi
ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan,
dan inipun sudah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil,
11
suatu undang-undang yang dikeluarkan sebelum UUPA. Undang-Undang ini diundangkan
pada tanggal 7 Januari 1960.Pengertian perjanjian bagi hasil menurut Pasal 1 huruf c Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1960 ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan
antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam
Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) disebut penggarap berdasarkan
perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan
usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Perjanjian bagi hasil tentunya harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara
tertulis. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1960. Tentunya hal ini sangat
memberikan manfaat yang sangat besar kedepannya, karena pihak-pihak yang terkait yaitu
pemilik tanah dan penggarap yang membuat sendiri perjanjian bagi hasilnya. Selain itu, tidak
hanya secara lisan namun untuk lebih memberi perlindungan hukum, dan sebagai alat
pembuktian yang kuat bagi perjanjian bagi hasil tanah pertaniannya, maka perjanjian
tersebut dibuat secara tertulis. Selain itu, tidak hanya dibutuhkan secara tertulis dalam
perjanjian bagi hasilnya, namun perjanjiannya dilakukan dihadapan Kepala Desa dengan
disaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
Apabila kita lihat untuk jangka waktu yang diatur dalam UU nomor 2 Tahun 1960, dapat
dilihat dalam Pasal 4 nya, dengan ketentuan:
1. Perjanjian bagi hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan di dalam surat perjanjian
tersebut sesuai Pasal 3, dengan ketentuan bahwa bagi sawah waktu itu adalah
11 A.P.Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, Alumni, Medan, 1981, halaman 69.