Page 130 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 130
122 Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya
Baik hak maupun kewajiban yang dimiliki oleh pemilik tanah mapun penggarap,
haruslah dilaksanakan dengan seimbang, supaya tidak ada yang dirugikan. Sehingga,
hapusnya perjanjian bagi hasil tanah pertanian dapat hapus karena:
1. Berakhirnya jangka waktu perjanjian bagi hasil.
2. Permintaan pemilik tanah sebelum jangka waktu perjanjian bagi hasil atas ijin Kepala
Desa dalam hal :
a. Penggarap tidak mengusahakan tanah sebagimana mestinya.
b. Penggarap tidak menyerahkan hasil tanahnya.
c. Penggarap tidak memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungannya.
d. Penggarap tanpa ijin menyerahkan penguasaanya kepada orang lain.
D. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menerapkan Bagi Hasil Tanah Pertanian
(Khususnya Bawang Merah) Untuk Mendukung Terlaksananya Reforma Agraria
Setelah mengetahui pengaturan mengenai sistem bagi hasil tanah pertanian yang
terdapat di dalam Hukum Tanah Nasional di Indonesia, maka jika dikaitkan dengan
pelaksanaan bagi hasil tanah pertanian (khususnya bawang merah) yang penulis teliti di
wilayah Brebes dan Kendal, belum ada yang menerapkan sistem bagi hasil yang diatur dalam
Hukum Tanah Nasional kita, khususnya ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun
1960. Padahal, keberadaan UU Nomor 2 Tahun 1960 tersebut lebih dahulu keluarnya
dibanding dengan UUPA itu sendiri. Setelah penulis menanyakan kepada dinas pertanian
yang ada, serta perangkat desanya memang dari mereka belum mengetahui adanya aturan
mengenai bagi hasil tanah pertanian tersebut.
Baik di Brebes maupun Kendal sama-sama masih menggunakan ketentuan yang terdapat
dalam hukum adat untuk pembagian hasilnya. Di samping itu, antar desa atau kelurahan
dalam satu Kabupaten tidak sama dalam hal besarnya imbangan bagi hasil yang diperoleh
baik oleh penggarap maupun pemilik tanah. Hal ini dikarenakan masyakarat masih
menggunakan sesuai dengan kebiasaan yang selama ini telah berlangsung. Perjanjian bagi
hasil yang dilakukan karena masih menggunakan ketentuan hukum adat, maka tidak dibuat
secara tertulis, melainkan hanya lisan atas dasar kepercayaan antara penggarap dan pemilik
tanah.
Bahkan perjanjian bagi hasil ersebut banyak dilakukan karena masih terdapat hubungan
famili, dan biasanya penggarap sudah mengerjakan garapannya itu secara turun temurun,
sehingga sudah berjalan bertahun-tahun.
Apabila penggarap meninggal, biasanya dialihkan kepada ahli warisnya kalau yang
bersangkutan tidak mau bias juga diambilalih oleh pemiliknya untuk dicarikan pengganti-
penggarap. Oleh Karena perjanjian dilakukan secara lisan, maka perjanjian tersebut juga di
dasarkan pada saling percaya antara pemilik dan penggara ptanahnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Peneliti, kondisi adanya perjanjian
yang hanya dilakukan dengan cara lisan ini sebenarnya lebih disukai oleh pemilik dan