Page 127 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 127
Mira Novana Ardani: Bagi Hasil Tanah Pertanian (Bawang Merah) ... 119
sekurang-kurangnya tiga tahun dan bagi tanah kering sekurang-kurangnya lima
tahun.
2. Dalam-hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria,
oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi hasil dengan jangka waktu
yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1, bagi tanah yang biasanya
diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
3. Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi hasil di atas tanah yang bersangkutan
masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu
tidak boleh lebih dari satu tahun.
4. Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah kering,
maka Kepala Desalah yang memutuskan.
Maksud tahun disini adalah tahun tanaman, bukan tahun hitungan kalender.
Pertimbangan diberikannya waktu untuk sawah sekurang-kurangnya tiga tahun karena jika
tanahnya berupa sawah dan menggunakan pupuk, terutama pupuk hijau yang ditanam pada
tahun pertama, maka daya pupuk ini baru akan bekerja dan dapat dirasakan oleh tanaman
pada tahun kedua, atau bahkan pada tahun ketiga pengaruhnya pada tanaman
dimungkinkan masih ada.
Mengenai besarnya imbangan pembagian perjanjian bagi hasil tidak disebutkan secara
terperinci dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (tanah
pertanian). Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 dalam Pasal 7
hanya menjelaskan besarnya pembagian hasil tanah ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah
Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dan memberitahukan keputusannya mengenai
penetapan pembagian hasil tanah kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan.Untuk penentuan besarnya imbangan bagi hasil tanah
pertanian tidak sama di setiap daerah. Faktor yang mempengaruhi dalam penentuan
besarnya imbangan bagi hasil tersebut antara lain keadaan tanah khususnya kesuburan
tanah, kepadatan penduduk dan faktor-faktor ekonomis lainnya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dipandang lebih baik jika penetapan bagian
pemilik dan penggarap itu dilakukan daerah demi daerah oleh instansi daerah itu sendiri,
yaitu Bupati atau Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang akan mendasarkannya pada
keadaan dan faktor-faktor ekonomis setempat. Di dalammenetapakan angka pembagian itu,
Bupati akan meminta pertimbangan instansi-instansi lainnya yang ahli dan wakil-wakil
12
golongan fungsionil tani.
Meskipun demikian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini memberikan pedoman
sebagai imbangan antara pemilik dan penggarap 1:1, yaitu untuk padi yang ditanam di
sawah.Untuk tanaman palawija dan untuk tanaman ditanah kering bagian penggarap adalah
pemilik. Untuk daerah-daerah dimana imbangan tersebut telah lebih menguntungkan pihak
12 Fokusmedia, Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, Bandung, 2009, halaman 868.