Page 116 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 116

108    Prosiding Seminar: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya



             2005,  Kanwil  Pertanahan  provinsi  Jawa  Barat  mengirim  surat  No.  630-416  kepada  Polres
             Karawang perihal Permohonan HBG atas nama PT. SAMP yang terletak di Desa Wanakerta,
             Margakaya,  dan  Sirnabaya  Kecamatan  Telukjambe  Barat  Karawang.  Intinya  meminta
             bantuan  kepada  Polres  Karawang  untuk  membantu  pengamanan  pengukuran  tanah

             tersebut.
                  Potensi konflik berdarah ini disebabkan oleh berkepanjangannya sengketa tanah seluas
             350 ha yang terletak di Desa Margamulya, Desa Wanasari, dan Desa Wanakerta, Kecamatan

             Telukjambe  Barat,  Kabupaten  Karawang  antara  masyarakat  dengan  PT.  Sember  Air  Mas
             Pratama  (PT.  SAMP).  Masyarakat  menyatakan  bahwa  tanah  itu  adalah  tanah  milik  adat
             yang  telah  mereka  diami  dan  garap  sejak  lima  puluh  tahun  silam,  sementara  PT.  SAMP
             mengklaim telah mendapatkan tanah tersebut dari PT. Makmur Jaya Utama (PT. MJU) yang

             diambilnya dengan cara oper garap. PT. MJU sendiri mendapatkan tanah itu dari PT Dasa
             Bagja  melalui  oper  Hak  Guna  Usaha  (HGU).  Walaupun  sampai  saat  ini,  baik  HGU  yang
             diajukan  oleh  PT.  Dasa  Bagja  belum  mendapatkan  ijin  dari  Kementrian  Dalam  Negeri
             maupun Menteri Agraria, begitu pula Hak Guba Bangunan (HGB) yang diajukan PT. SAMP,

             belum pernah direalisasikan oleh pemerintah. Hal inilah yang menjadi dasar penolakan dan
             perlawanan masyarakat atas klaim PT. SAMP.
                  Selain dasar di atas, masyarakat menolak dan melawan atas klaim PT. SAMP, karena

             sampai  saat  ini  masyarakat  tidak  pernah  membebaskan  tanahnya  kepada  siapapun,
             termasuk PT. SAMP. Faktanya, sampai saat ini yang menempati, menggarap, dan membayar
             pajak atas tanah tersebut adalah masyarakat yang berada di atas tanah sengketa tersebut.
             Memang masyarakat mengakui, pernah menyewakan tanah mereka kepada PT. Dasa Bagja

             selama tiga tahun, yaitu sejak 1974 sampai tahun 1977. Namun, karena masa sewa habis dan
             HGU yang diajukan oleh PT. Dasa Bagja kepada Menteri Dalam Negeri tidak dikabulkan,
             maka tanah tersebut ditinggalkan dan masyarakat kembali menggarap tanah-tanah mereka,
             termasuk membayar pajaknya sesuai dengan yang tertera dalam girik, SPPT, dan buku C

             desa.
                  Dampak  dari  penolakan  masyarakat  atas  PT.  SAMP  berbuntut  panjang,  saling  gugat
             pun terjadi, mulai dari perdata, pidana, sampai Tata Usaha Negara. Hasilnya, tentu masih

             tidak  sesusi  dengan  apa  yang  diharapkan  semua  pihak,  sebab  dari  hasil  beberapa  persi-
             dangan, terdapat putusan yang berbeda-beda, bahkan saling tumpang tindih. Putusan yang
             satu memenangkan masyarakat, sementara dalam putusan lain memenangkan PT. SAMP.
             Padahal  obyek  yang  disengketakannya  tetap  sama.  Dugaan-dugaan  keterlibatan  berbagai

             pihak  baik  kepolisian,  kejaksaan,  pengadilan,  maupun  BPN  pun  muncul  karena  ketidak
             konsistenan putusan hukum pada setiap proses peradilan atas sengketa tanah tersebut.
                  Berbagai  penyelesaian  konflik  pertanahan  di  Teluk  Jambe  Karawang  telah  cukup

             banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi, tetapi dalam banyak hal
             hasilnya terasa kurang memuaskan. Bahkan penyelesaian melalui pengadilan pun dirasakan
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121