Page 305 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 305
Novina Sri Indiraharti: Perlukah Asas Pemisahan Horisontal dalam ... 297
dan penguasaan tanah. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 28, 35, 41 dan 44 UUPA. Asas
pemisahan horizontal juga terdapat pada Pasal 4 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah. Bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh
pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya
dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
Pada Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang tersebut, dalam rangka asas pemisahan
horisontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum
bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan
hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak secara otomatis meliputi benda-benda tersebut.
Menurut Hukum Adat berlaku asas, bahwa dibangunnya sebuah rumah oleh warga
masyarakat hukum adat di atas tanah Hak Ulayat yang merupakan tanah bersama, membikin
tanah di atas mana bangunan tersebut berdiri menjadi hak pribadi pemilik rumah yang
bersangkutan. Demikian juga apabila seorang anggota masyarakat hukum adat memberikan
suatu tanda pemilikan pada pohon tertentu di hutan, yang semula belum ada pemiliknya,
maka bukan hanya pohon itu menjadi miliknya, melainkan juga bagian tanah di bawah
naungan dedaunan pohon tersebut menjadi hak pribadinya. Sebagai warga masyarakat
hukumnya ia memang berhak untuk dengan izin Kepala Adatnya membangun rumah di atas
tanah bersama tersebut. Demikian juga untuk memberi tanda pemilikan pada pohon yang
berada di dalam wilayah tanah ulayatnya. Dalam hukum adat ada asas hukum yang dalam
Bahasa Belanda diungkapkan dengan kata-kata: “Wie zaait, die maait” (Barangsiapa menebar
3
benihnya, dia berhak menuainya).
Dari sudut penggunaan tanah Boedi Harsono memberikan pengertian objek hak atas
tanah itu praktis berdimensi tiga, yang pada kenyataannya selain permukaan tanah, meliputi
juag ruang di bawah tanah, berukuran panjang, lebar, dan tinggi/dalam. Tetapi kedalaman
yang dimaksud oleh Boedi Harsono adalah sepanjang diperlukan dan penggunaannya
menjadi satu kesatuan dengan tanah di atasnya.
Dalam perkembangan hukum tanah nasional sekarang ini terdapat undang-undang yang
berbenturan dengan asas pemisahan horizontal. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
menyebabkan terjadinya kontradiksi terhadap asas pemisahan horizontal. Pasal 1 angka 4
3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid 1, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hlm. 349-350.