Page 93 - Prosiding Seminar Nasional: Problematika Pertanahan dan Strategi Penyelesaiannya. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Agraria
P. 93
Endang Pandamdari: Dimensi Hukum Percepatan Reforma Agraria ... 85
3
bagian-bagian yang terlampau kecil. Dasar hukum yang digunakan selain UUPA khususnya
Pasal 7 dan Pasal 17, yaitu UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
4
Pertanian.
Pada masa Orde Lama, program landreform hanya berjalan dari tahun 1961 sampai tahun
1965. Selanjutnya pada masa Orde Baru, landreform dilaksanakan secara terbatas, melalui
program transmigrasi penduduk ke daerah, sekaligus program pengembangan Perkebunan
Inti Rakyat (PIR). Prioritas pengembangan bagi pemukiman transmigrasi adalah daerah yang
5
mempunyai nilai aksesibilitas yang cukup tinggi. Luas tanah yang diberikan kepada trans-
migrasi adalah 2 ha tanah per keluarga.
Secara fisik, dari tahun 1961 sampai dengan tahun 2005, luas tanah obyek landreform yang
telah dibagikan lebih kurang 1.159.527,273 ha, dan dibagikan kepada 1.501.762 KK dengan rata-
6
rata luasan 0,77 ha. Pelaksanaan landreform tersebut hasilnya belum seperti yang diharap-
kan, karena kesejahteraan petani masih belum tercapai. Hal-hal yang menghambat pelaksa-
naan landreform saat itu adalah: a) rendahnya dukungan politik; b) kurangnya penegakan
hukum; c) tidak tersedianya biaya, data dan informasi yang memadai; d) peraturan perun-
dang-undangan yang tidak secara jelas dan tegas mengatur; e) lemahnya lembaga dan
7
kualitas sumber daya manusia.
Menyadari pentingnya melaksanakan landreform menuju kesejahteraan dan berkeadilan
sosial, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Ketetapan MPR ini mengamanatkan kepada pemerintah antara lain melaksanakan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang
berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, serta menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya alam yang timbul selama ini, sekaligus
dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya
8
penegakan hukum. Selanjutnya, Keputusan MPR-RI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penu-
gasan kepada Pimpinan MPR-RI untuk menyampaikan Saran atas Pelaksanaan Putusan MPR-
3
Ibid, hlm. 367.
4 Pasal 7 UUPA menetapkan untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17 UUPA antara lain menegaskan
ketentuan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu
keluarga atau badan hukum.
5 Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999), hlm.79.
6 Badan Pertanahan Nasional, Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka
Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Pusat Hukum dan Hubungan
Masyarakat Badan Pertanahan Nasional, 2007), hlm. 21.
7 Ibid, hlm. 21.
8 Boedi Harsono berpendapat apa yang dimaksudkan oleh TAP MPR IX/MPR/2001 itu sejalan dengan
apa yang menjadi tujuan dan semangat yang melandasi pembentukan UUPA pada tahun 1960 dalam rangka
pelaksanaan agrarian reform yang mencakup reformasi di bidang pertanahan pada waktu itu. Lihat Boedi
Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2003),
hlm. 27.